Saatnya Pempek Palembang rambah ekspor

id pempek,ekspor,umkm,ukm,usaha kecil menengah,kuliner,pasar ekspor,kuliner palembang,umkm palembang,sumsel,info sumsel,kul

Saatnya Pempek Palembang rambah ekspor

Penjual pempek di sentra kuliner pempek 26 Ilir Palembang, Sumsel, Jumat (12/7/2019). (ANTARA FOTO/Feny Selly)

negara lain itu usahanya sampai gila-gilaan untuk bisa masukkan barangnya ke Indonesia. Kenapa kita tidak begitu juga
Palembang (ANTARA) - Kuliner khas daerah Pempek Palembang sudah demikian terkenal di Tanah Air, tapi sayangnya hingga kini hanya segelintir produsen yang mau merambah pasar ekspor.

Dari ribuan pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) pempek di Palembang, hanya 6-7 usahawan yang sudah berani menjajal ekspor. Itu pun dalam porsi kecil dan belum rutin.

Namun, adanya teknologi baru dalam sterilisasi makanan menumbuhkan semangat pelaku UKM setempat untuk menyasar pasar kuliner luar negeri, yang menawarkan keuntungan berlipat.

Ketua Asosiasi Pengusaha Pempek Palembang Yenny Anggraini optimis produknya segera masuk pasar ekspor setelah dimasifkan penggunaan mesin sterilisasi mini ‘retort’ yang membuat panganan menjadi lebih tahan lama.

Setidaknya 20 pelaku UKM pempek sudah menggunakan alat retort tersebut, yang membuat makanan dapat tahan lama tanpa ada proses pembekuan atau disimpan di lemari pendingin.

“Selama ini yang jadi masalah itu bagaimana memastikan makanan tahan lama, dan ini sudah ada alatnya. Semoga tak lama lagi Pempek banyak diekspor,” kata Yenny dalam acara “Capacity Building UMKM Sumsel Go Export” di Palembang, Rabu (23/2).

Sejauh ini ketersediaan alat masih terbatas sehingga asosiasi meminta dukungan dari pemerintah supaya mudah didapatkan pelaku UMKM di pasaran.

Selain itu, demi memenuhi persyaratan ekspor, asosiasi juga membutuhkan hasil uji laboratorium mengenai daya tahan pempek yang sudah melalui proses ‘retort’ tersebut dari lembaga tersertifikasi. Asosiasi berharap bisa menjalin kerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Hasil dari uji laboratorium ini juga bertujuan untuk menyakinkan pembeli (buyers) mengenai kepastian daya tahan pempek walau melalui masa penyimpanan hingga berbulan-bulan.

Selain adanya kepastian daya tahan makanan, ia menilai, dibutuhkan juga langkah lain agar pempek ini bisa menembus pasar ekspor. Diantaranya, adanya surat izin layak edar produk pangan dari BPOM hingga pendampingan bagi pelaku UMKM untuk memenuhi persyaratan ekspor.

Harapannya, dengan beragam upaya ini kuliner khas Palembang dapat diekspor secara besar-besaran ke luar negeri karena persoalan daya tahan makanan sudah terselesaikan, kata dia.

Selama ini, pelaku UKM pempek Palembang hanya merambah pasar dalam negeri karena proses pengiriman melalui perusahaan ekspedisi membutuhkan waktu 1-2 hari. Agar kualitas makanan terjaga dalam masa itu, umumnya dilakukan pengemasan kedap udara.

Namun, untuk pengiriman ke luar negeri ini menjadi persoalan karena dibutuhkan waktu hingga beberapa hari.

Perwakilan dari Direktorat Jenderal Bea Cukai Sumatera Bagian Timur, Amir Hasan, yang menjadi pembicara dalam acara tersebut mengatakan pihaknya sudah mencatat adanya pengiriman pempek ke luar negeri menggunakan pesawat udara dalam volume terbatas.

Untuk UMKM, pemerintah sebenarnya mendorong agar ekspor dilakukan menggunakan kapal laut untuk menekan biaya.

Pengiriman melalui kontainer ini bisa dilakukan asalkan produk yang dikirimkan berdaya tahan lama dengan total volume melebihi 100 kilogram.

“Pelaku UMKM bisa menggandeng perusahaan ekspedisi seperti DHL, FedEx hingga Pos Indonesia,” kata dia.

Menurutnya, proses untuk ekspor ini relatif mudah asalkan para pelaku UMKM mau mempelajarinya. Namun, kurangnya pengetahuan membuat pelaku usaha menjadi tidak percaya diri sehingga hanya menggarap pasar domestik.

Pelaku UMKM dapat mengawalinya dengan membuat pengajuan ekspor Ditjen Bea Cukai. Lalu, ada petugas khusus yang akan mendampingi untuk memenuhi beragam persyaratan ekspor dari negara tujuan.

Para pelaku UMKM tidak perlu khawatir bakal kesulitan karena Ditjen Bea Cukai Sumbagtim telah membentuk unit khusus untuk mendampingi pelaku UMKM.

Tim akan membantu pelaku UMKM terhubung dengan buyers (pembeli) atau melalui jasa agregator, bahkan menghubungkan dengan beragam insentif dari pemerintah.

“Tidak mungkin kami tidak membantu, bayangkan saja negara lain itu usahanya sampai gila-gilaan untuk bisa masukkan barangnya ke Indonesia. Kenapa kita tidak begitu juga,” kata dia.

Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan saat ini produksi pempek oleh pelaku UMKM berkisar 14 ton per hari, yang mana separuhnya dikirim ke luar Palembang.

“Dengan kemampuan produksi tersebut seharusnya pempek sudah merambah pasar ekspor,” kata Herman Deru.

Tips ekspor

Mengekspor produk panganan bisa dikatakan susah-susah gampang khususnya bagi pelaku UKM, setidaknya demikian disampaikan Intan Anastasia Amsyah.

Eksportir bawang putih hitam (black garlic) asal Jakarta ini mengatakan dirinya harus melakukan riset terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengirimkannya ke pasar luar negeri.

Riset itu terkait dengan kenapa harus ekspor, nilai keunggulan produk, potensi pasar, standar ekspor hingga prosedur ekspor.

“Potensi UMKM untuk ekspor sangat besar. Tapi pertanyaannya bagaimana agar bisa ekspor, bisa tidak ?. Itu yang ada dibenak saya ketika itu,” kata Intan.
Kegiatan “Capacity Building UMKM Sumsel Go Export” di Palembang, Rabu (23/2/22). (ANTARA/HO)


Awalnya pada 2017, ia mengamati warga Eropa memiliki perhatian yang tinggi terhadap citarasa makanan sehingga rela memburu bumbu masakan dari luar negeri.

Saat itu, bawang putih hasil fermentasi atau dikenal dengan sebutan black garlic tergolong tinggi permintaannya karena diyakini bisa menaikkan rasa makanan menjadi lebih enak.

Sementara di Indonesia, black garlic ini umumnya hanya dimanfaatkan untuk obat-obatan berbahan herbal sehingga pasarnya demikian kecil.

Peluang peluasan pasar ini pun akhirnya ditangkap Intan apalagi produksinya sekitar 500 kilogram per bulan sudah tidak terserap maksimal oleh pasar domestik.

Selain itu, tingginya harga black garlic di pasar Eropa menjadi daya tarik sendiri. Produk tersebut senilai 21,5 Euro (Rp344.000) per kilogram, sementara di Tanah Air hanya Rp100.000 per kilogram.

Semangatnya pun semakin berlipat karena pemerintah juga memberikan kemudahan untuk ekspor, bahkan ia mendapatkan kesempatan ikut serta dalam pameran dagang di beberapa negara.

Akhirnya, setelah menyelesaikan beragam persyaratan, ia pun berhasil mengekspor bawang putih hitam pada 2018 ke Prancis. Saat ini, dalam satu tahun, setidaknya Intan melakukan tiga kali pengiriman dengan volume hingga 1 ton untuk setiap pengiriman. Sejauh ini, ia juga sudah memiliki distributor di Swedia dan Rusia.

Kini ia juga mengembangkan produk untuk memenuhi tuntutan pasar, dengan juga menjual jenis pasta, ekstrak, hingga bawang kupas.

Bagi Intan, tak hanya riset yang harus kuat, pelaku UMKM juga perlu memahami cara mem-branding, mendesain (mengemas) hingga menakar harga produk.

Ini penting untuk meningkatkan daya saing mengingat ketika masuk ke pasar luar negeri maka akan banyak kompetitor (pesaing) yang menjual produk serupa.

“Satu tips lagi, untuk ekspor sebenarnya tidak mesti ke AS atau Eropa, dapat juga ke Asia atau Afrika yang relatif tidak terlalu ketat persyaratannya,” kata dia.

Pendampingan

Bank Indonesia mendorong pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menjajal pasar ekspor karena potensi yang tergarap masih relatif kecil.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Erwin Soeriadimadja mengatakan UMKM sejauh ini berkontribusi hingga 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) namun hanya 5 persen dari pelakunya yang sudah bertransaksi di pasar ekspor.

“Masih kecil sekali, padahal peluang sangat banyak dari produk kuliner, fesyen hingga kriya,” kata Erwin.

Setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dilakukan agar UMKM mampu menembus pasar internasional atau berdaya saing yakni peningkatan kualitas produk, kemampuan memenuhi selera pasar dan memperluas pasar.

Kuncinya para pelaku UMKM ini harus didampingi oleh instansi terkait secara berkesinambungan melalui ‘klinik’ ekspor, menghubungkan dengan lembaga pembiayaan dan agregator, hingga mempermudah proses sertifikasi serta perizinan.

Selain itu yang tak kalah penting yakni mendorong UMKM untuk menerapkan digitalisasi pembayaran. Pembayaran digital ini bukan hanya untuk memudahkan dalam kegiatan produksi hingga marketing (e-commerce) tapi untuk memastikan bahwa proses berjalan dengan cepat dan aman.

Pelaku UMKM dapat memanfaatkan QRIS, yakni Kode QR Standar Indonesia adalah standar kode QR yang dikembangkan oleh Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia yang bertujuan untuk mengintegrasikan seluruh metode pembayaran nontunai.

Terpenting lagi yakni meningkatkan kapasitas dari UMKM itu sendiri agar mampu bersaing di pasar internasional.

Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian Ernila Rizar mengatakan saat ini terdata terdapat 67.887 unit Indusri Kecil Menengah di Sumsel.

Berdasarkan hasil kajian Dinas Perindustrian Sumsel diketahui terdapat beragam persoalan yang menjadi penyebabnya, diantaranya kurangnya informasi mengenai akses pasar ekspor, sebagai besar masih berskala rumah tangga, hingga belum tersertifikasi.

“Dari jumlah IKM itu, hanya sedikit yang sudah mampu ekspor. Sehingga diakui, Sumsel tertinggal jauh dari Jawa,” kata dia.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM saat ini mencapai 64,19 juta dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 61,97 persen atau senilai 8.573,89 triliun rupiah.

Kontribusi UMKM terhadap perekonomian Indonesia meliputi kemampuan menyerap 97 persen dari total tenaga kerja serta menghimpun 60,4 persen dari total investasi.

UMKM juga merupakan sektor yang berperan penting dalam pemulihan ekonomi di tengah pandemi COVID-19.

Kini saatnya mendorong pelaku UMKM tak hanya terpaku pada pasar dalam negeri, namun berorientasi ekspor.