Telaah - Istilah pasca-OTT takselaras UU Pemilu

id OTT KPK,UU Pemilu,anggota kpu ditangkap,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara hari ini, palembang hari ini,Wahyu Se

Telaah - Istilah pasca-OTT takselaras  UU Pemilu

Anggota KPU Wahyu Setiawan (kedua kiri) mengenakan rompi tahanan usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (10/1/2020) dini hari. Ia ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan, pada Rabu (8/1/2020). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

apakah sebutan komisioner untuk anggota KPU RI atau anggota Bawaslu sudah tepat?
Semarang (ANTARA) - Lema komisioner makin sering menghiasi pemberitaan di Tanah Air setelah KPK menangkap anggota Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan atas dugaan menerima suap pada hari Rabu (8-1-2020).

Sebelum penangkapan --lebih populer dengan singkatan OTT (operasi tangkap tangan)-- terhadap anggota KPU itu, istilah komisioner juga sering digunakan oleh sejumlah media.

Bahkan, sebutan ini tidak hanya bagi anggota KPU, tetapi bagi anggota KPU di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Bahkan, tidak jarang ada yang menulis komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Berikut contoh istilah komisioner dalam kalimat berita yang disiarkan sejumlah media daring di Tanah Air.

a. Abhan mengatakan, ATF menjabat Komisioner Bawaslu periode 2008-2012.

b. Komisioner KPU Wahyu Setiawan akhirnya menyandang status tersangka di KPK. Dia diduga menerima suap berkaitan dengan pengurusan Pergantian Antar-Waktu (PAW) Anggota DPR dari PDIP.

Contoh kalimat berita di atas adalah asli dari masing-masing media daring. Pada contoh pertama adalah kalimat tidak langsung sehingga tanda koma (,) seharusnya tidak memisahkan predikat dan objek. Oleh karena itu, perlu kata penghubung bahwa di antaranya.

Abhan mengatakan bahwa ATF menjabat anggota Bawaslu periode 2008—2012.

Jika dibuat kalimat langsung, sebagai berikut.

Abhan mengatakan, "ATF menjabat anggota Bawaslu periode 2008—2012."

Muncul pertanyaan apakah bahasa pers merupakan bahasa yang khas, lain daripada bahasa seperti yang digunakan oleh masyarakat umum? Atas kekhasannya itu, lantas pers bebas mengubah istilah anggota menjadi komisioner?

Pakar bahasa Indonesia Jusuf Sjarif Badudu, dalam bukunya berjudul Cakrawala Bahasa Indonesia II (halaman 61), mengemukakan bahwa bahasa pers itu adalah bahasa ragam resmi baku, bukan bahasa ragam santai seperti bahasa yang digunakan dalam percakapan santai sehari-hari.

Karena bahasa pers adalah bahasa ragam resmi baku, mesti tunduk pada aturan atau kaidah bahasa yang berlaku. Sebagai bahasa tulis ragam resmi baku, harus tunduk ada kaidah bahasa yang telah dibakukan: kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, dan tanda baca.

Kendati buku yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, pada tahun 1992, apa yang ditulis Jus Badudu atau dikenal dengan nama J.S. Badudu, tampaknya masih relevan bagi jurnalis pada masa kini.

Jus Badudu juga mengingatkan insan pers harus menggunakan kata atau istilah yang sama maknanya dengan yang telah ditetapkan di dalam kamus.

Pada era sekarang ini tidaklah sulit mencari kata, tinggal buka KBBI Daring (kbbi.kemdikbud.go.id), kemudian menulis entri, misalnya takselaras, munculkan penjelasan maknanya.

 
Tangkap layar KBBI Daring. ANTARA/Kliwon



Begitu pula, ketika ingin mengetahui makna komisioner. Via KBBI Daring, publik akan mengetahui maknanya. Komisioner bermakna orang yang bertugas melaksanakan penjualan barang dagangan milik pemerintah atau orang lain dengan menerima imbalan dari keuntungan.

Jika merujuk makna tersebut, apakah sebutan komisioner untuk anggota KPU RI atau anggota Bawaslu sudah tepat? Lagi pula, di dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum, juga tidak ada istilah komisioner.

Apabila publik ingin tahu seberapa banyak penggunaan istilah komisioner KPU bisa melalui mesin pencari Google. Pada hari Senin, 13 Januari 2020, pukul 07.42 WIB frasa itu tercatat 17.800.000.

Jika dibandingkan dengan istilah anggota KPU, lema di atas kalah banyak. Jumlah pencarian dari kata kunci tersebut pada hari yang sama tercatat 30.600.000.

Dalam Daftar Pemutakhiran KBBI Daring pada bulan Oktober 2019 terdapat entri baru sebanyak 1.035, makna baru sebanyak 34, ubah entri sebanyak 105, perubahan makna sebanyak 63, dan informasi etimologis tercatat 4.184. Namun, ada pula entri nonaktif tercatat 9 kata, makna nonaktif 3 kata, dan contoh nonaktif 1 kata.

Makna komisioner belum berubah atau belum masuk dalam daftar tersebut meski sejumlah media sering menggunakan istilah komisioner KPU. Silakan vide ttps://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/komisioner.
 

Apalagi, di dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) Edisi V setebal 2.040 halaman yang terdiri atas 127.036 lema dan makna, temasuk kata komisioner. Lema ini bermakna sama dengan yang termaktub di dalam KBBI Daring.

Bagi pengguna KBBI Daring yang terdaftar, bisa mengusulkan entri, makna, dan contoh baru dalam KBBI. Bahkan, mereka bisa mengusulkan perbaikan entri, makna, serta contoh dalam KBBI, atau tinggal klik usulkan entri baru dan usulkan makna baru.

Di sinilah peran media massa memberi kontribusi dengan sering menggunakan kata, baik berasal dari bahasa daerah maupun bahasa asing beserta padanan kata, dalam pemberitaannya.

Namun, yang terjadi adalah penulisan satu kata berbeda-beda. Penulisan salat (bentuk baku), misalnya, ada yang menulis solat, shalat, atau sholat. Begitu pula, penulisan Ramadan, Idulfitri, Iduladha, Al-Qur'an juga bervariasi antara media satu dan lainnya.

Bahkan, sejumlah media massa telah membuat daftar istilah selingkung (sekitar lingkungan) dengan menganulir atau menganggap tidak sah (tidak berlaku) kata baku dalam KBBI. Hal ini tentunya akan membingungkan pengguna bahasa Indonesia di tengah masyarakat.

Sebaiknya istilah dalam daftar selingkung ini berisikan kosakata bahasa daerah dan/atau bahasa asing yang belum terdapat dalam KBBI. Sepanjang belum ada bentuk bakunya, silakan menyebarluaskan istilah asing dan/atau bahasa daerah dengan padanan katanya. Hal ini justru akan menambah khazanah bahasa Indonesia.

Apabila sudah berterima, seyogyianya menyesuaikan cara penulisan di dalam KBBI. Dengan demikian, media massa tidak hanya menambah perbendaharaan bahasa Indonesia, tetapi juga turut serta menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.