Politikus menilai sistem pemilu 2019 berpotensi bebiaya tinggi

id pemilu,pemilihan umum,biaya politik indonesia,sainte lague,berita palembang,berita sumsel

Politikus menilai sistem pemilu 2019 berpotensi bebiaya tinggi

Dokumentasi- Surat suara. (ANTARA/Ari Bowo Sucipto)

Semarang (ANTARA News Sumsel) - Sistem Pemilihan Umum 2019 dengan metode konversi suara "sainte lague" yang berdasarkan suara terbanyak berpotensi berbiaya tinggi sehingga perlu penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan tentang pemilu, kata politikus Partai Golkar Iqbal Wibisono.

Iqbal yang juga Ketua Harian DPD I Partai Golkar Provinsi Jawa Tengah kepada Antara di Semarang, Sabtu, berpendapat bahwa sistem pemilu dengan suara terbanyak akan melahirkan wakil rakyat yang cenderung korupsi dan meracuni rakyatnya.

Ia menilai peraturan perundang-undangan terkait dengan pemilu, baik Pemilu Anggota DPD, DPR, dan DPRD maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yang menjadi landasan penyelenggaraan Pemilu 2019 kurang positif bagi pembangunan demokrasi di Tanah Air.

Oleh karena itu, perlu menyempurnakan sistem pemilu dengan merevisi Undang-Undang Pemilu agar melahirkan pemimpin yang berdedikasi atau tidak berperilaku menyimpang serta tidak berpikir mengembalikan utang politik maupun utang sosial.

Menyinggung metode konversi suara pada pemilu mendatang, Iqbal mengatakan bahwa konversi dari suara ke kursi legislatif pada pemilu mendatang berbeda dengan Pemilu 2014, atau tidak lagi menggunakan bilangan pembagi pemilihan (BPP).

Sebagaimana ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 415 Ayat (2) dan Pasal 420, intinya suara sah setiap parpol yang memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu 2019 dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3; 5; 7; dan seterusnya.

Setelah memperoleh hasil pembagian, diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak. Nilai terbanyak pertama mendapat kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga, dan seterusnya sampai jumlah kursi di daerah pemilihan habis terbagi.

Pada Pemilu 2014, lanjut dia, menggunakan sistem kuota atau BPP. Dalam sistem tersebut, terlebih dahulu menentukan BPP (jumlah suara sah dibagi dengan jumlah kursi yang tersedia) di daerah pemilihan, kemudian parpol peraih angka BPP mendapatkan kursi. Selanjutnya, sisa kursi yang tersedia, ditentukan dengan peringkat atau perolehan suara terbanyak tiap parpol.

Menurut Iqbal, penghitungan yang representatif dan tidak ada yang dirugikan adalah sistem yang digunakan pada Pemilu 2004, yakni suara sah tidak dibagi habis di dapil, tetapi dihitung di kabupaten/kota.

Demikian pula, suara untuk DPR RI dan DPRD provinsi, kata Iqbal, tidak habis dihitung di dapil, tetapi dihitung di KPU provinsi, baru dibagi jumlah kursi DPR RI maupun kursi DPRD provinsi, untuk menentukan BPP.

"Dengan demikian, akan dapat terlihat berapa yang diperoleh parpol tersebut sesuai dengan suara sah yang diperoleh," ucapnya.

Dalam penentuan penempatan atau penugasan calon anggota legislatif yang terpilih, menurut dia, partai pemenanglah yang diberikan kesempatan pertama untuk memilih, baru pemenang berikutnya.

"Sebaiknya kembali lagi ke metode perhitungan kursi pada Pemilu 2004 karena sistemnya lebih adil dan tidak banyak merugikan partai-partai kecil, atau paling tidak ada pihak yang merasa dirugikan," katanya.***2***
(T.D007/B/I. Sulistyo