Mandi safar jadi perekat keberagaman

id Mandi safar, bulan Safar, prosesi ritual, budaya, tanpa ada sekat suku, ras, agama, As'ada Arsyad, pondok pesantren, Wali Peetu

Mandi safar jadi perekat keberagaman

Tradisi mandi safar. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

Jambi (ANTARA Sumsel) - Pengasuh Pondok Pesantren Wali Peetu Desa Air Hitam Laut As'ad Arsyad mengatakan, tradisi adat "mandi safar" di Kabupaten Tanjungjabung Timur, Jambi, telah menjadi perekat keberagaman hubungan antarsesama manusia sehingga harus  dilestarikan.

"Kita lestarikan karena ini budaya di kampung kita yang bisa menjadi perekat sesama manusia sebagai warga negara tanpa ada sekat suku, ras dan agama," katanya di lokasi mandi safar di Pantai Babussalam, Rabu.

Ritual adat yang diyakini menjadi perekat keberagaman penduduk itu, karena yang mengikuti prosesi itu tak hanya masyarakat setempat , melainkan masyarakat dari sejumlah daerah juga datang dan turut mengikuti prosesi ritual.

"Kita tidak memandang siapa, dan yang mau ikut mandi siapa saja boleh, jadi tradisi ini menurut kami harus kita lestarikan di tengah keberagaman bangsa kita ini," kata As'ada Arsyad yang merupakan keturunan pendiri pondok pesantren Wali Peetu tersebut.

Mandi safar itu merupakan tradisi turun temurun masyarakat setempat yang dilaksanakan setiap Rabu terakhir pada bulan Safar atau tahun ini bertepatan dengan 15 November 2017.

Mandi Safar kata dia menjelaskan, adalah tradisi adat warisan nenek moyang yang berasal dari warga Bugis atau Sulawesi Selatan yang telah dilakukan sejak dulu, dan hingga saat ini masih terjaga kelestariannya.

Ritual adat yang telah dilaksanakan secara turun temurun itu dipusatkan di Desa Air Hitam Laut Kecamatan Sadu, yang merupakan daerah pesisir timur Jambi yang memiliki kekayaan alam dan budaya.

Saat puncak tradisi adat tersebut dilaksanakan, semua masyarakat tumpah ruah ke pesisir pantai untuk bersama-sama mandi untuk meminta pertolongan kepada yang maha kuasa agar terhindar dari segala bencana.

Prosesi ritual adat di laut itu semua masyarakat yang datang boleh mandi, dan bila ada masyarakat tidak mau mandi dengan catatan apabila dibasahi oleh masyarakat, maka dia tidak boleh marah, katanya.

Masyarakat yang akan mengikuti prosesi ritual adat mandi safar itu, sebelum menyeburkan diri ke laut mereka telah membekali diri dengan daun mangga yang diikat di kepala (laki-laki) dan diikat di lengan kanan bagi kamu perempuan.

Daun tersebut sebelumnya telah diberikan doa atau rajah oleh sesepuh atau alim ulama setempat di Masjid Pondok Pesantren Wali Peetu tersebut.

"Untuk daun yang telah diberikan doa sebanyak seribu lembar, daun-daun tersebut didoakan oleh 111 santri dari pondok pesantren tersebut," katanya menambahkan.