Model restorasi gambut bersama masyarakat dikenalkan di COP-23

id restorasi, restorasi gambut, gambut, badan restorasi gambut, nazir foead

Model restorasi gambut bersama masyarakat dikenalkan di COP-23

Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead. (ANTARA/Yudhi Mahatma)

Bonn, Jerman (ANTARA Sumsel) - Sebelumnya Badan Restorasi Gambut (BRG) hanya fokus mencari pendanaan melalui hibah maka kini, menurut Kepala BRG Nazir Foead, pihaknya mencoba mengkombinasikannya dengan investasi restorasi gambut yang melibatkan masyarakat dan pihak swasta.

Yang ingin dicapai sebenarnya adalah bagaimana memperbaiki ekonomi yang berkelanjutan untuk masyarakat yang hidup di lahan gambut.

"Karenanya kita juga harus memperbaiki akses ke Pasar, memperbaiki sistem manajemen masyarakat, harus perbaiki teknik agronominya sehingga pertumbuhan ekonomi masyarakat lebih optimum dengan hasil panen lebih banyak sehingga keuntungan lebih banyak," kata Nazir di sela-sela Konferensi Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) 23 di Bonn, Jerman.

Namun, menurut dia, masyarakat tidak akan bisa mencapai itu semua jika bekerja sendiri-sendiri. Harus dilakukan bersama-sama. Contoh yang sudah berhasil seperti di Sukabumi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengapresiasi usaha yang dirintis oleh Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) Pangan, Koperasi Arrahmah, di Desa Pasirhalang, Kabupaten Sukabumi yang mengelola produksi beras dengan mengaplikasikan teknologi.

Namun hal berbeda, lanjutnya, adalah akses pasar, di mana petani-petani di lahan gambut di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, atau lokasi lainnya seperti Meranti di Riau yang tidak seberuntung petani di Sukabumi.

Karenanya, BRG akan mengajak dunia usaha untuk memberikan sentuhan teknologi dan nilai tambah, tentu juga dengan memberikan akses modal pada mereka.

"BRG sedang mencari pihak-pihak swasta ini, yang mau bekerja bersama masyarakat seperti plasma inti, tapi dengan keuntungan 80 persen untuk masyarakat dan 20 persen perusahaan. Ada yang mau melakukan itu, karena tentu perusahan kan memang tetap punya industrinya," lanjutnya.

Sejumlah investor dari dalam dan luar negeri sudah ada yang tertarik dengan sistem ini. Namun, Nazir belum mau menyebutkan perusahaan mana saja yang ingin bergabung mendukung restorasi gambut bekerja sama dengan masyarakat.

"Untuk komoditas lain seperti sagu, kelapa, nanas masih dihitung nilai ekonomisnya sehingga bisa menarik untuk perbankan memberikan akses modal. Padi jadi komoditas pas untuk petani di lahan gambut, karena kalau kayu akan memakan waktu lama karena baru menghasilkan 7 sampai dengan 10 tahun kemudian," tuturnya.

Selain padi yang bisa tiga kali panen dalam setahun, BRG juga sedang menyiapkan komoditas lain yang panen empat kali setahun. "Nanti lah saya kasih tahu, sekarang jangan dulu karena masih perlu disiapkan".

Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG Myrna Safitri mengatakan pihaknya menargetkan terbentuk 1.000 Desa Peduli Gambut dalam empat tahun, termasuk menaikkan status ekonomi masyarakat desa tersebut.

Pasar, lanjutnya, memang menjadi hal penting bagi masyarakat desa yang bertani di area gambut, dan persoalan ini tidak mudah dipecahkan karenanya BRG menggandeng berbagai mitra termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menciptakan akses pasar.

Direktur Kemitraan Monica Tanuhandaru mengatakan kondisi saat ini di Indonesia, baik masyarakat yang hidup di sekitar hutan maupun gambut merupakan masyarakat sangat miskin. "Jadi kalau kita minta mereka untuk jaga hutan atau gambut begitu saja tentu tidak mungkin," ucapnya.

Saat ini, lanjutnya, yang perlu diingat yakni bagaimana memastikan agar politik pimpinan negeri tetap sama, mendukung perekonomian berbasis komunitas tidak hanya bisnis skala besar.

"Jadi pendekatan membangun dari komunitas mulai dari desa, seperti yang juga dilakukan BRG melalui Desa Peduli Gambut dan Perhutanan Sosial yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan," imbuhnya.