Jakarta (ANTARA) - Di daerah Priangan yang terkenal dengan hawanya yang sejuk,
sawah-sawah dan alam yang indah, di sanalah aku dilahirkan,
dalam satu keluarga yang sederhana hidupnya.
Orang tuaku tak pernah ku kenal. Mereka meninggal sewaktu aku masih bayi.
Aku dibesarkan oleh paman dan bibi.
Kalau Ahmad anak pamanku pulang ke kampung, dia selalu mengajak temannya yang dapat merebut hatiku.
Tiap kali mereka datang, bagiku adalah sebagai selingan hidup yang sunyi sepi.
Larik demi larik narasi di atas adalah potongan monolog pembuka yang dilantunkan oleh suara seorang perempuan dalam sebuah karya film. Visualisasi adegan yang disesuaikan dengan alur narasi pada layar berukuran raksasa, memantulkan cahaya berpendar yang seolah melompat gembira dari satu kepala manusia ke kepala yang lain.
Percik demi percik cahaya dari layar besar itu juga turut membanjiri wajah-wajah riang bercampur rasa penasaran nan membuncah entitas manusia yang tengah asyik bersandar di kursi-kursi sebuah bioskop dengan penuh rasa nyaman.
Tak seperti biasanya, bioskop arus-utama yang berada di jantung Kota Jakarta itu tengah menayangkan sebuah film hitam putih yang diproduksi jauh sebelum era milenium yaitu sekitar tujuh dekade silam, tepatnya pada tahun 1952. Pada tahun itu, sebuah film bertajuk “Dr. Samsi” lahir yang merupakan sebuah karya perempuan sutradara Indonesia bernama Ratna Asmara.