Bambu dan mitigasi perubahan iklim

id bambu,manfaat bambu,bambu serap karbon,perubahan iklim,mitigasi perubahan iklim,folu net sink,restorasi lahan kritis,agr,berita palembang, antara pale

Bambu dan mitigasi perubahan iklim

Petugas merawat bambu di arboretum bambu di Udjo Ecoland, Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (6/2/2023). Udjo Ecoland merupakan area agrowisata yang di inisiasi oleh Saung Angklung Udjo dan melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi terkait konservasi bambu serta pengolahan sampah terpadu, wisata pertanian dan peternakan. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/foc

Jakarta (ANTARA) - Daun-daun bambu bergesekan tertiup angin yang menyelinap di tepi anak sungai. Suasana di pojok-pojok kampung itu membangkitkan kembali romansa masa lalu tentang lingkungan  teduh, berudara segar yang diciptakan oleh rumpun tanaman dengan nama ilmiah Bambusoideae tersebut. Bambu dulu banyak menjadi tanaman batas desa.

Kawasan yang ditumbuhi bambu biasanya suasananya teduh, udara sejuk, dan air melimpah. Bambu dikenal memiliki keunggulannya sebagai tanaman konservasi. Bambu memiliki sistem perakaran serabut yang juga berfungsi menjaga ekosistem air.

Sejumlah kalangan menyebut bambu sebagai rumput raksasa, lantaran bentuknya yang berumpun menyerupai rumput.

Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sarwono Kusumaatmaja, mengatakan tanaman bambu tersebar merata dan tumbuh dengan baik di wilayah beriklim tropis dan juga subtropis di seluruh dunia, khususnya di Benua Asia, Benua Afrika, dan Benua Amerika.

 Indonesia mempunyai tempat yang unik dalam bidang bambu. Di seluruh dunia saat ini terdapat lebih dari 1.500 spesies bambu yang terangkum dalam 90 famili tumbuhan.

Indonesia mempunyai kurang lebih 176 spesies bambu atau 10 persen dari keseluruhan spesies bambu di dunia. Sekitar 50 persen tanaman bambu yang berkembang di negara ini dapat digolongkan sebagai tumbuhan endemik.

Oleh karena itu, bambu telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai tanaman hias, kerajinan tangan, perkakas, mebel, bahkan alat musik, terutama bagi mereka yang bermukim di kawasan pedesaan.

Sedangkan di kawasan perkotaan, pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dipandang memiliki kebutuhan terhadap sandang, pangan, dan perlindungan yang membuat fungsi bambu kian meluas dari waktu ke waktu.

Secara umum, tanaman bambu memiliki bentuk dan ukuran yang sangat berbeda, dari yang berukuran batang kecil hingga yang berukuran tinggi mencapai 30 meter.

"Uniknya bagi Indonesia, kita adalah rumah bagi jenis yang paling umum di antara komunitas bambu ini, yaitu bambu tropis yang cenderung memiliki batang yang lebih tebal daripada bambu lain dengan batang lebih ramping dan akar yang menyebar," kata Sarwono dalam sebuah diskusi tentang bambu di Jakarta, pada awal Februari 2023.

Atas potensi dan manfaat bambu yang sangat banyak tersebut, maka sudah sepantasnya Indonesia memasukkan bambu sebagai tanaman penting yang perlu mendapatkan perhatian serius agar populasinya tetap terjaga.


Mitigasi perubahan iklim

Dalam berbagai Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia sering menyinggung tentang peran bambu yang berfungsi untuk memitigasi perubahan iklim.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengatakan bambu punya peran ekologis untuk menghadapi ancaman lingkungan dan dampak buruk perubahan iklim.

Berdasarkan data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang dilakukan di Kebun Raya Bali, satu rumpun bambu pentung berumur lima tahun dengan jumlah 20 batang dan tinggi rata-rata 15 meter dengan diameter batang 10 sentimeter bisa mengkonservasi air sebanyak 391,22 meter kubik atau setara 391,22 ribu liter per hektare.

Bahkan, total biomassa yang mampu disimpan oleh tanaman bambu berkisar 87,35 ton per hektare.

Sejauh ini, Indonesia belum mempunyai data akurat tentang luas bambu mengingat tanaman itu tumbuh secara sporadis dengan angka perkiraan mencapai lebih dari 1 juta hektare.

Direktur Eksekutif Yayasan Bambu Lestari, Monica Tanuhandaru, menuturkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan pemerintah daerah melalui program seperti Indonesia's FOLU Net Sink 2030 bisa mendapatkan banyak manfaatnya dengan pengembangan agroforestri bambu.

Pada tahun 2021, ia mengisahkan, Badai Seroja yang menyapu wilayah Nusa Tenggara Timur membuat banyak rumah rusak dan hancur. Namun, desa-desa yang dikelilingi hutan bambu relatif aman dari bencana alam tersebut.

Bahkan, rumah-rumah penduduk yang terbuat dari bambu, termasuk kayu,  juga relatif aman dari guncangan gempa bumi yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat, pada tahun 2022 lalu.

"Hal yang kami inginkan adalah setiap desa memiliki cadangan bambu untuk konsumsi mereka sendiri untuk value change dan supply chain," ujar Monica.

Yayasan Bambu Lestari saat ini mendorong 74.000 desa di Indonesia, terutama daerah yang sulit dijangkau, untuk menanam bambu melalui pola wanatani dengan pangan agar populasi bambu kian bertambah dan bisa membantu restorasi lahan kritis sebagai salah satu upaya memitigasi perubahan iklim.

Selain itu, Yayasan Bambu Lestari juga sedang menyiapkan sebuah peta tentang agroforestri bambu yang mendata tentang kekayaan bambu di Indonesia, terkhusus bambu endemik yang tidak ada di negara lain.


Butuh Kolaborasi

Langkah untuk menjadikan bambu sebagai solusi alam, memitigasi perubahan iklim, perlu kolaborasi berbagai pemangku kepentingan. Hal ini tak cukup hanya dilakukan oleh pemerintah pusat ataupun lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang kelestarian lingkungan saja, melainkan juga harus melibatkan pemerintah daerah, pemerintah desa, hingga masyarakat sebagai komponen akar rumput.

Sarwono Kusumaatmaja yang pernah menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup (1993-1998) mengungkapkan Indonesia pernah menjadi tuan rumah Kongres Bambu Internasional ke-empat di Bali pada tahun 1995.

Sebagai tindak lanjut dari konferensi internasional tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup menyusun semacam naskah tentang pengembangan strategis bambu yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Regulasi yang telah berusia hampir tiga dekade tersebut masih belum ditinjau kembali dan diperkaya isinya. Padahal berbagai perubahan telah terjadi dalam rentang waktu yang panjang tersebut.

Analis Kerja Sama Teknis Standarisasi dari Pusat Standarisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Desy Ekawati, mengatakan mitigasi perubahan iklim adalah tanggung jawab lintas sektor untuk menyelamatkan planet bumi dari ancaman buruk pemanasan global yang menimbulkan berbagai bencana alam, mulai dari kenaikan muka air laut, suhu yang lebih panas, perubahan cuaca secara signifikan, mengganggu suplai makanan, hingga menimbulkan berbagai penyakit baru.

Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memanfaatkan bambu untuk menurunkan gas rumah kaca. Wilayah itu telah memproduksi 2,5 juta bibit bambu dan menanam bambu pada lahan seluas 1.300 hektare sebagai upaya mendukung program Indonesia's FOLU Net Sink 2030 yang digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui agroforestri bambu.

Yayasan Bambu Lestari sempat menghitung, jika agroforesti bambu bisa berjalan di tujuh provinsi untuk merestorasi lahan kritis yang ada pada sepadan sungai seluas 300.000 hektare, maka bambu mampu memberikan nilai valuasi yang cukup besar mendekati angka Rp10 triliun dalam waktu enam tahun sejak penanaman dengan investasi awal hanya sebesar Rp3 triliun.

Bila melihat letak geografis dan astronomis Indonesia, maka bambu punya potensi untuk dikembangkan dengan garis besar melakukan mitigasi perubahan iklim. Namun, di satu sisi, tanaman berumpun tersebut juga bisa memberikan manfaat ekonomi melalui berbagai produk olahan dari pangan, sandang, hingga papan, agrowisata sampai seni.