Kebijakan ekonomi yang visioner

id ekonomi, kebijakan ekonomi visioner

....Pengendalian harga, dalam arti meredam kenaikan harga kebutuhan pokok, sebenarnya tak lepas dari kebijakan ekonomi jangka panjang....
Peristiwa ini sebetulnya kejadian rutin.  Setiap menjelang Ramadhan, ada kecenderungan harga-harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan.

Banyak faktor yang memicu kecenderungan kenaikan harga kebutuhan pokok itu. Salah satunya adalah ulah spekulan. Mereka memanfaatkan momentum Ramadhan untuk meraih laba lebih tinggi dari situasi di luar Ramadhan.

Di Indonesia, Ramadhan adalah momentum ketika kaum Muslim mengeluarkan uang belanja secara lebih konsumtif dibandingkan dengan hari-hari biasa.  Meskipun jadwal makan hanya dua kali, yakni saat berbuka puasa dan makan sahur, umumnya kaum Muslim meningkatkan kualitas dan kuantitas  makanan mereka.  

Jika pada hari-hari biasa mereka tak mengonsumsi kolak, es buah dan makanan pembuka berbuka seperti korma, kue-kue basah,  pada Ramadhan inilah mereka mengonsumsi makanan ekstra itu. Otomatis kebutuhan untuk bahan baku pembuatan makanan itu, kecuali korma, jadi meningkat.

Konsumsi masyarakat terhadap gula, kelapa, tepung, minyak, telur  dan sebagainya menjadi meningkat. Permintaan atas kebutuhan bahan baku yang meningkat ini terbaca oleh kaum pedagang. Kaum spekulan yang membaca situasi ini akan menaikkan harga-harga. Kebutuhan atas bahan baku kebutuhan pokok di bulan Ramadhan adalah keniscayaan sehingga akan diprioritaskan oleh kebanyakan kaum Muslim yang menunaikan ibadah puasa.

Faktor lain yang memicu kenaikan harga adalah situasi moneter di luar hukum permintaan dan persediaan komoditas. Untuk konteks saat ini, faktor yang memicu kenaikan harga kebutuhan pokok seperti telur dan daging ayam adalah pelemahan nilai rupiah atas dolar AS.

Melemahnya nilai rupiah menjadi beban yang lebih besar bagi produsen pakan dan unggas karena bahan baku pembuatan pakan adalah kedelai dan jagung, yang sebagian besar diimpor. Bahkan untuk membuat pakan berbahan kedelai, 100 persen kedelai itu harus diimpor. Untuk jagung, dari kebutuhan 7,7 juta ton, sebanyak 3,6 juta ton jagung mesti diimpor.

Dampak kelanjutan dari pelemahan rupiah ini adalah kenaikan harga telur dan daging ayam di tingkat konsumen. Jika pelemahan rupiah ini berlanjut hingga bulan puasa, otomatis kenaikan harga bahan kebutuhan pokok akan ikut naik.

Dalam konteks inilah, kebijakan moneter  dari pemerintah untuk menekan berlanjutnya pelemahan nilai rupiah sangat diharapkan.

Upaya mengurangi tingkat kenaikan harga kebutuhan pokok saat Ramadhan juga bisa dilakukan lewat seruan  moralistik pada kaum Muslim yang tengah menunaikan ibadah puasa. Kepada mereka diminta tidak berlaku terlalu konsumtif  terutama untuk belanja bahan kebutuhan pokok.

Namun seruan semacam ini dampaknya tak begitu berarti bagi eskalasi kenaikan harga. Karena seberapa banyak jumlah pembelian di tingkat konsumen perseorangan, peningkatan jumlah pembelian itu tidak begitu signifikan.

Pengendalian harga bahan kebutuhan pokok untuk sebagian sudah dilakukan pemerintah dengan memberikan jaminan atas ketersediaannya, terutama beras, sehingga pedagang tak akan melambungkan harga komoditas utama itu.

Kenaikan harga barang kebutuhan pokok juga bisa diakibatkan oleh ekonomi biaya tinggi, seperti sarana dan prasarana transportasi yang kurang memadai, adanya pungli di jalan-jalan terhadap sopir truk pengangkut bahan kebutuhan pokok tersebut. Jika ekonomi biaya tinggi ini bisa dihapus, sedikit banyak kenaikan harga-harga sembako bisa diminimalisasi.

Ekonomi biaya tinggi di Indonesia masih menjadi persoalan terutama dengan adanya kebijakan otonomi daerah pasca-Reformasi. Daerah-daerah berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah dengan menerapkan berbagai macam kebijakan yang akhirnya merugikan konsumen karena harus membayar mahal atas barang yang dikonsumsi.

Yang menarik, untuk komoditas di luar bahan kebutuhan pokok, seperti buah-buahan misalnya, harga apel malang contohnya, akan lebih mahal untuk daerah tertentu dibandingkan harga apel malang yang di jual di Jakarta.  Bahkan di kota Blitar, Jawa Timur, yang bertetangga dengan kota Batu, Malang, Jawa Timur, harga apel malang kadang mencapai Rp25 ribu sementara pada saat yang sama harga barang serupa di Jakarta mencapai Rp22 ribu.

Tentu perbedaan harga ini diakibatkan oleh tingkat keekonomisan di mana pemasokan apel malang dilakukan secara massal dengan harga per kilo yang relatif lebih murah dari pada pemasokan apel malang ke Blitar yang dilakukan tidak secara massif.

Hambatan-hambatan birokratis dalam proses distribusi komoditas di berbagai daerah tentu akan dengan mudah diatasi jika daerah yang bersangkutan dipimpin oleh kepala daerah yang punya pandangan visioner soal pemerintahan yang bersih dan prokonsumen.

Pengendalian harga, dalam arti meredam kenaikan harga kebutuhan pokok, sebenarnya tak lepas dari kebijakan ekonomi jangka panjang. Artinya, pilihan-pilihan atas prioritas pembangunan pertanian harus dilakukan untuk menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Jika sejak dulu kebijakan agroindustri sudah dilakukan,  ketergantungan pada impor tidak akan terlalu dominan seperti sekarang ini.

Penguasa yang mengabaikan pembangunan dengan aksentuasi pertanian, dan cenderung mengatasi kelangkaan barang secara instan dengan mengimpor, memperlihatkan sikap yang pragmatis memilih jalan pintas, untuk mereguk keuntungan sesingkat-singkatnya. Namun, dampaknya seperti sekarang ini: setiap nilai rupiah merosot, konsumen atas kebutuhan barng yang diimpor itu ikut terpukul.

Pengalaman ini diharapkan menyadarkan presiden terpilih mendatang untuk memberikan prioritas bagi pembangunan bidang agroindustri.