Lion Air JT 610 sempat kehilangan daya angkat

id lion air,jt 610,knkt

Lion Air JT 610 sempat kehilangan daya angkat

Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Muhammad Syaugi (kedua kiri) didampingi Kepala Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono (kiri) memeriksa turbin pesawat Lion Air JT 610 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (4/11/2018). Tim SAR gabungan menyerahkan turbin, roda dan sejumlah barang-barang temuan dari jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 kepada KNKT untuk dilakukan investigasi lebih lanjut. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/EM) (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/EM/)

Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memaparkan bahwa pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan rute Jakarta-Pangkalpinang yang jatuh di Perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, 26 Oktober 2018 sempat kehilangan daya angkat (stall).

Kepala Sub Komite Kecelakaan Penerbangan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Nurcahyo saat Rapat Kerja dengan Komisi V DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis, menjelaskan kronologi detik-detik sebelum pesawat tersebut jatuh, yaitu dari hasil pembacaan kotak hitam (black box) pada saat mulai terjadi perbedaan penunjuk kecepatan.

“Dilihat dari grafik yang paling bawah, berwarna biru adalah ketinggian, di atas kecepatan, mungkin naik pada tiga garis di atas,” katanya.

Nurchayo mengatakan “angle of attack” dari awal sudah menunjukan perbedaan di antara kiri dan kanan, indikator kanan lebih tinggi dari kiri. 

“Pada saat menjelang mulai terbang di sini tercatat bahwa ada garis merah di sini yang menunjukkan pesawat mengalami ‘stick shaker’. ‘Stick shaker’ adalah kemudinya di sisi kapten mulai bergetar. Ini adalah indikasi yang menunjukkan bahwa pesawat akan mengalami ‘stall’ atau peringatan daya angkat,” katanya.

Pada saat di ketinggian 5.000 kaki tercatat pada indikator berwarna ungu, yaiti 'automatic trim down' atau yang disebut banyak media sebagai MCAS atau Manuver Characteristics Augmentation System. Ini adalah alat untuk menurunkan hidung pesawat karena pesawatnya akan "stall". 

Jadi, tutur dia, hal ini kemungkinan disebabkan karena “angle of attack” di tempat kapten menunjukkan 20 derajat lebih tinggi. 

“Kemudian men-'trigger' terjadnya ‘stick shaker’. Mengindikasikan kepada pilot bahwa pesawat akan ‘stall’. Kemudian MCAS menggerakkan hidung pesawat untuk turun,” katanya.

Nurchayo menjelaskan pergerakan tersebut dilawan oleh pilot dengan parameter yang paling atas berwarna biru. 

“Jadi pilotnya ‘trim up’. Terus sampai dengan akhir penerbangan, ini parameter biru yang tengah ini menunjukkan berapa total trim yang terjadi. Setelah ‘trim down’ angkanya turun dilawan oleh pilotnya trim up kemudian akhirnya angkanya kira-kira di angka 5,” katanya.

Jadi, lanjut dia, angka 5 adalah angka beban kendali pilot nyaman.

“Apabila angkanya makin kecil, ini bebannya akan semakin berat. Namun kemudian, tercatat di akhir-akhir penerbangan ‘autamatic trim’-nya bertambah namun trim dari pilotnya durasinya makin pendek. Akhirnya jumlah trimnya makin lama mengecil dan beban  kemudi menjadi berat. Kemudian pesawat turun,” katanya.

Dia mengatakan hasil pembacaan kotak hitam secara lengkap akandipublikasikan kepada masyarakat luas pada 28 November mendatang.