Pilpres 2019 tanding ulang Jokowi-Prabowo atau ada lawan baru...?

id jokowi prabowo,pilpres,pilpres 2019

Pilpres 2019 tanding ulang Jokowi-Prabowo atau ada lawan baru...?

Presiden Joko Widodo mengadakan pertemuan dengan Prabowo Subianto (ANTARA FOTO)

Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Menjelang pencalonan presiden dan wakil presiden (wapres), publik digiring para politikus dan lembaga survei bahwa agenda Pemilu 2019 akan menyajikan kembali "pertandingan" ulang antara Joko Widodo (Jokowi) dengan Prabowo Subianto.

Jokowi sebagai petahana digambarkan merupakan figur yang memiliki tingkat elektabilitas tertinggi dan paling berpeluang untuk bertahan pada periode kedua kepemimpinannya pada periode 2019 s.d. 2024.

Sementara itu, Prabowo yang juga Ketua Dewan Pembina dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra merupakan lawan tanding paling kuat dan paling memungkinkan untuk membuktikan bahwa kekalahannya pada Pemilu 2014 bisa dibalas pada tahun depan.

Perbincangan seputar mencari calon pemimpin ini juga tertuju pada siapa tokoh yang bisa mendampingi mereka masing-masing, sebagai calon wakil presiden, yang memiliki daya dorong yang kuat untuk menambah elektabilitas masing-masing calon presidennya.

Itulah perbincangan politikus dan lembaga survei yang menggiring, bahkan berusaha menyihir, publik seolah-olah hanya nama mereka yang "berhak" untuk dipilih dalam mendapatkan sebanyak-banyaknya suara rakyat.

Perbincangan politikus dan hasil survei tersebut tidak salah, sah-sah saja. Namun, tidak bisa dipakai sebagai opini publik yang benar dan mengikat.

Dalam politik segala sesuatu adalah memungkinkan. "Politics is the art of the possible", begitu istilah abadi dalam politik, dari Pangeran Otto von Bismarck dalam Kekaisaran Jerman yang hidup tahun 1815 hingga 1898. Politik adalah seni kemungkinan.

Dalam politik, sesuatu yang tidak mungkin dapat diubah menjadi mungkin atau sebaliknya sesuatu yang mungkin dapat diubah menjadi tidak mungkin.

Masa pencalonan presiden dan wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum akan berlangsung pada tanggal 4 hingga 10 Agustus 2018. Masih ada waktu sekitar 3 bulan 10 hari.

Dinamika politik yang berkembang sejauh ini masih sangat terbuka untuk menampilkan lebih banyak calon presiden dan wakil presiden.

Demokrasi yang tumbuh di negeri ini pun selalu terbuka bagi setiap tokoh yang memiliki rekam jejak baik dan beragam pengalaman pengabdian dalam bertugas (tour of duty) yang telah teruji.

Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam luar biasa. Demikian pula, sumber daya manusia yang memiliki peluang yang sama untuk memimpin negeri ini.

Presiden Jokowi yang ingin memperpanjang kepemimpinan lima tahunannya untuk memasuki periode kedua, sebagaimana yang pernah dialami Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada periode 2004 s.d. 2009 dan 2009 s.d. 2024, berpeluang memimpin kembali.

Prabowo yang ingin membalas kekalahannya juga berpeluang. Begitu pula, sejumlah nama lain bisa menjadi calon presiden, seperti Jusuf Kalla, Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli, Zulkifli Hasan, Anies Baswedan, Budi Gunawan, Puan Maharani, Sri Mulyani, atau Ahmad Heryawan.

Hitam di Atas Putih

Meskipun perbincangan politikus dan lembaga survei berusaha menggiring pada pertandingan ulang antara Jokowi dan Prabowo, pengalaman pemilihan presiden secara langsung sejak 2004 belum pernah menunjukkan pertandingan ulang.

Kontestasi dalam pemilihan presiden tentu saja berbeda dengan pertandingan olahraga yang bisa dijadwalkan dan diatur untuk pertandingan ulang dengan lawan yang sama.

Kalaupun pertandingan ulang Jokowi dan Prabowo berulang, kemungkinan Prabowo akan kalah lagi meskipun kemungkinan menang juga ada. Ke mana potensi kemungkinan itu menguat, bisa diamati dari pengalaman atau pembanding.

Pengalaman 2014 menunjukkan Jokowi dan Prabowo sama-sama tokoh baru untuk tampil dalam pentas nasional dan hasilnya Prabowo kalah.

Kondisi sekarang tentu saja berbeda. Presiden Jokowi dengan pengalaman kepemimpinannya dan capaian hasil kinerja yang bisa dinilai oleh rakyat, lebih berpeluang untuk memenangi pemilihan kembali, kecuali bila terjadi peristiwa luar biasa yang menurunkan tingkat kepercayaan pada pemerintah.

Pengalaman Amerika Serikat yang sering dirujuk sebagai praktik demokrasi terbaik di dunia dalam pemilihan presiden juga pernah menunjukkan hal itu.

Capres AS dari Partai Republik Dwight D. Eisenhower memenangi pemilu pada tahun 1952 dengan mengalahkan capres dari Partai Demokrat Adlai Stevenson. Pada pemilu berikutnya, pada tahun 1956, Eisenhower mengalahkan kembali Stevenson.

Saking bernafsunya Stevenson untuk menjadi capres, menjelang pemilu berikutnya dia mengikuti konvensi di Partai Demokrat. Dia dikalahkan oleh John F. Kennedy yang dikukuhkan sebagai capres AS dari Demokrat, kemudian Kennedy memenangi Pemilu 1960 mengalahkan Richard Nixon dari Partai Republik.

Sejumlah nama capres AS lain yang selalu kalah dalam dua kali pemilihan, antara lain, Thomas Dewey dari Partai Republik untuk pemilu 1944 dan 1948; William Jennings Bryan dari Partai Demokrat, bahkan tiga kali kalah pada pemilu 1896, 1900, dan 1908.

Sebaliknya, dari 45 Presiden AS sejak 1789 hingga kini, sebagian besar merupakan presiden dua periode berturut-turut.

Bahkan, presiden ke-32 AS Franklin D. Roosevelt pernah empat periode memimpin AS, dengan konstitusi lama, sejak 30 Januari 1882 hingga 12 April 1945, saat meninggal dunia karena sakit setelah 11 minggu memasuki periode ke-4 kepemimpinannya.

Nah, kembali ke Indonesia, Prabowo dan para pendukungnya tampaknya perlu berpikir ulang untuk melakukan pertandingan ulang dengan Jokowi.

Tawar-menawar kepentingan politik di lima partai pendukung Jokowi masih berpotensi berubah. Lima partai: PDI Perjuangan, Golkar, PPP, Nasdem, dan Hanura telah mendeklarasikan dukungannya untuk Jokowi. Sementara itu, PKB mengusung Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sebagai calon wapres yang ingin dipasangkan bersama Jokowi.

PKB mendukung Jokowi bila memilih Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin, sebagai cawapres. Baliho Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin, banyak terpasang di berbagai kota, dan telah mendirikan berbagai posko, serta menyosialisasikan diri sebagai cawapres yang akan berduet dengan Jokowi.

Enam partai itu belum memberikan "hitam di atas putih" kecuali hanya pernyataan lisan untuk Jokowi.

PDI Perjuangan menginginkan kader atau simpatisan setianya untuk tampil sebagai cawapres dalam mendampingi Jokowi. PPP memberikan lima kriteria cawapres kepada Jokowi, yang mengarah kepada Ketua Umum PPP M. Romahurmuziy. Tiga partai lainnya sejauh ini menyerahkan sepenuhnya kepada Jokowi.

Bila tidak ada kata sepakat dan pernyataan tertulis bersama dari enam partai, bisa saja poros ini "pecah".

Poros koalisi Gerindra dan PKS pun masih "fragile" alias mudah pecah bila tawar-menawar politik berlangsung keras. Apalagi, Jokowi juga telah melakukan pertemuan dengan pimpinan PKS, begitu juga Jokowi dan utusannya pun telah beberapa kali bertemu dengan Prabowo dan pimpinan Gerindra.

Sementara itu, PAN yang mengusung ketua umumnya, Zulkifli Hasan, sebagai capres belum mendapat respons positif dari partai lain untuk mendukungnya. Partai Demokrat menyodorkan Agus Harimurti sebagai alternatif tokoh muda untuk memimpin negeri.

Jadi, para elite politik dan kelompok berpengaruh saat ini sedang memainkan seni kemungkinan.

Segala sesuatu coba diracik untuk memunculkan kemungkinan-kemungkinan hingga menjelang batas akhir pendaftaran pencalonan pada tanggal 4 s.d. 10 Agustus mendatang, yang mengarah kemungkinan itu menuju kepastian.

Publik pun dapat menyuarakan aspirasi dan melakukan berbagai pencerahan, bahkan memanjatkan doa agar dikabulkan oleh Zat yang Mahakuasa untuk mendapatkan pemimpin terbaik.(*)