Filipina protes kehadiran kapal China "yang mengancam" di LCS

id filipina,laut china selatan,LCS,kapal china,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, info sumsel

Filipina protes kehadiran kapal China "yang mengancam"  di LCS

Dokumentasi - Sejumlah pesawat tempur dari kapal induk China Liaoning mengadakan latihan di sebuah wilayah di Laut China Selatan, Senin (2/1/2017). (ANTARA/REUTERS/Mo Xiaoliang/am.)

Manila (ANTARA) - Filipina memprotes China atas apa yang digambarkannya sebagai "kehadiran yang mengancam" dari kapal-kapal China di Laut China Selatan (LCS).

Pejabat Filipina pada Minggu (21/3) melaporkan sekitar 220 kapal, yang diyakini diawaki oleh personel milisi maritim China, terlihat berlabuh di Whitsun Reef --yang disebut Manila sebagai Julian Felipe Reef-- pada 7 Maret.

Pada Senin, Kedutaan Besar China di Manila mengatakan kapal-kapal yang terlihat di Whitsun Reef itu adalah kapal penangkap ikan dan berlindung karena kondisi laut yang buruk.

"Pengerahan yang terus berlanjut, kehadiran, dan aktivitas kapal China yang berlarut-larut melanggar kedaulatan Filipina," kata Kementerian Luar Negeri Filipina dalam nota protes diplomatiknya kepada China.

"Kehadiran mereka yang mengerumuni dan mengancam menciptakan suasana ketidakstabilan dan secara terang-terangan mengabaikan komitmen China untuk memajukan perdamaian dan stabilitas di kawasan itu," kata kementerian.

Namun, Kedutaan Besar China di Manila membantah tuduhan tersebut.

"Tidak ada milisi maritim China seperti yang dituduhkan. Setiap spekulasi seperti itu tidak membantu apa-apa selain menyebabkan gangguan yang tidak perlu," kata kedutaan dalam pernyataan.

Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana mengatakan pada Minggu (21/3)  bahwa kehadiran kapal milisi di Whitsun Reef adalah "tindakan provokatif yang jelas untuk memiliterisasi daerah tersebut" dan mendesak China untuk menarik kembali kapal-kapal yang melanggar hak maritim negara itu.

Pengadilan internasional membatalkan klaim China atas 90 persen wilayah LCS pada 2016, tetapi Beijing tidak mengakui keputusan tersebut dan bahkan telah membangun pulau-pulau di perairan sengketa yang dilengkapi dengan radar, senjata rudal, dan hanggar untuk jet tempur.

Jay Batongbacal, seorang ahli LCS di Universitas Filipina, mengatakan "kebijakan persahabatan" Presiden Rodrigo Duterte --untuk menjauh dari Washington dan lebih dekat dengan China adalah penyebab serbuan itu.

"Apa pun peluang yang kita miliki untuk memperlambat atau menghentikannya, sudah hilang," kata Batongbacal.

China mengeklaim hampir semua wilayah LCS yang kaya energi, yang juga merupakan jalur perdagangan utama. Filipina, Brunei, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan, memiliki klaim yang tumpang tindih di wilayah itu.
Sumber: Reuters