Tersangka koruptor dalam perspektif politik etis

id setya novanto, kpk, korupsi, ktp, e ktp, ktp elektronik

Tersangka koruptor dalam perspektif politik etis

Setya Novanto. (ANTARA/M Agung Rajasa)

Di mata hukum, seorang tersangka koruptor tetap harus diperlakukan sebagai sosok yang diasumsikan tak bersalah sampai keputusan hakim yang berkekuatan hukum  tetap menyatakannya  terbukti secara sah melanggar undang-undang.

Sudut pandang inilah yang dimanfaatkan oleh para  tersangka koruptor, termasuk Setya Novanto, dalam mengerahkan segala daya menghadapi berbagai kemungkinan agar bisa lepas dari jeratan hukum.

Salah satu upaya itu adalah menyewa pengacara-pengacara andal dan mahal untuk menyelamatkan sang tersangka koruptor agar terbebas dari vonis bersalah dan masuk penjara.

Namun, dalam perspektif politik etis, yang sering disuarakan kalangan penulis sosial budaya, seorang tersangka koruptor sudah termasuk sosok yang tak bermartabat, cela, berkubang dalam pusaran permainan kotor untuk menggangsir anggaran dan dana rakyat.

Tentu masing-masing perspektif punya tujuan dan maksud masing-masing, yang mengandung kebaikannya sendiri-sendiri. Keduanya tak perlu dipertentangan dan diadu mana yang paling benar.

Asas praduga tak bersalah adalah penemuan panjang dalam dialektika peradilan  sejak  abad-abad yang lampau hingga kini. Pengadilan telah membuktikan bahwa mereka yang menjadi tersangka terbukti tidak cukup bersalah dan kasusnya tak layak dilanjutkan ke tahap penuntutan sebagai terdakwa.

Bahkan, sekalipun seseorang dinyatakan oleh tangan hukum  sebagai terdakwa, asas praduga tak bersalah pun masih harus diberlakukan kepadanya. Dan sejarah pengadilan di mana pun mencatat tentang fakta bahwa terdakwa juga berpeluang bebas dari tuntutan jaksa.

Namun, penulis sosial budaya punya naluri lain dalam memandang persoalan hukum yang sarat dengan dimensi politik.

Perkara Setya Novanto yang menjadi tersangka korupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik dengan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun, oleh perspektif politik etis sudah dikategorikan sebagai  fenomena menyedihkan akibat tindakan yang memerosotkan  nilai-nilai kemanusiaan dan merusak tatanan kenegaraan dan demokrasi.

Dua perspektif yang seolah berhadap-hadapan secara simetris itulah yang melahirkan dua sikap yang bertolak belakang. Mereka yang berpatokan pada asas praduga tak bersalah berseberangan dengan mereka yang berpatokan pada politik etis.

Pihak yang pertama adalah para politikus yang dalam pernyataan dan tindakan mereka terkesan membela alias melindungi Setya Novanto.     
     
Sedangkan pihak yang kedua menilai Setya Novanto tak pantas lagi menyandang posisi-posisi strategis, yakni Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar,  dua kursi yang selayaknya diamanahkan kepada  politikus yang bermartabat.

Kelompok pertama tentu mempunyai kepentingan dengan eksistensi Setya Novanto sebagai Ketua DPR maupun Ketua Umum Partai Golkar.  Mereka ini menikmati efek kekuasaan Setya Novanto dan tak ingin kenikmatan itu tiba-tiba raib bersama jatuhnya atau mundurnya Novanto dari kedua posisi strategis itu.

Itu sebabnya kelompok pertama ini tak mau mendesak mundur Novanto dan malah mendukung keinginan Novanto untuk menunggu hasil sidang praperadilan kedua, yang memberi kemungkinan Novanto untuk lepas dari jeratan hukum.

Namun, bagi kelompok yang berpegang pada politik etis, tuntutan yang dikenakan terhadap Novanto cukup keras. Mereka suka mengingatkan publik tentang para politikus Negeri Sakura, yang tak jarang berlaku bunuh diri ketika baru dinyatakan sebagai tersangka koruptor.

Tentu publik  akan  puas jika Novanto, tanpa harus bunuh diri,  tapi  cukup dengan mengambil langkah mudur dari jabatan sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar .

Ternyata Novanto bukan jenis politikus yang berperspektif politik etis. Dia mempertahankan dua posisi strategisnya dengan berpatokan pada hasil sidang praperadilan kedua.

Di tengah kegetolan Novanto mempertahankan kekuasaannya dan pendukungnya yang setia, yang argumen-argumen politiknya didasarkan pada legalitas hukum, apa yang disuarakan oleh para penulis maupun pengamat sosial budaya menjadi bermakna sebagai kompas bagi hati nurani publik.

Publik perlu diingatkan bahwa politikus yang punya dana besar dan digdaya secara politik tak akan kesulitan untuk meloloskan diri dari jeratan hukum.  Apalagi Novanto bukan sekali ini saja dinyatakan tersangkut perkara rasuah yang menjijikkan namun selalu lolos dari jeratan hukum.

Mereka yang menyuarakan pendapat berdasarkan perspektif politik etis itu melandasi analisis mereka dengan  akal sehat mereka bahwa jika seorang politikus beberapa kali tersangkut kasus korupsi dan bisa meloloskan diri, peluang untuk lolos dalam perkara berikutnya bukan hal yang mustahil.

Di tengah situasi di mana integritas penegak hukum dan keadilan cukup memprihatinkan, sikap skeptis dari penyuara hati hurani publik itu bisa dimaklumi.

Sesungguhnya yang dicemaskan oleh mereka yang berpegang pada politik etis  bukan cuma kegagalan penegak hukum menjerat sang koruptor tapi juga makin tumpulnya hati nurani  sebagian publik, yang terkelabui oleh ulah politikus yang lihai memanfaatkan cela-cela hukum di rimba alias labirin peradilan yang dihuni oknum-oknum yang sesat dalam mengambil ketupusan.

Suara mereka yang berlandasan pada perspektif etis itu juga perlu didengar atau disimak oleh para pemegang kekuasaan yang masih memiliki nurani untuk memihak dalam perkara yang memang membutuhkan pemihakan  mereka.

Dalam perkara Setya Novanto, beberapa kali Wakil Presiden Jusuf Kalla memperlihatkan sikapnya yang selaras dengan suara yang digaungkan oleh penulis sosial budaya yang berpatokan pada politik etis.

Pilihan Kalla itu tentu bukan tanpa risiko. Setidaknya, sikapnya itu bisa ditafsirkan sebagai kelumrahan dari politikus yang punya agenda politiknya sendiri. Meski demikian, Kalla tampaknya tak perlu surut. Bukankah tak semua agenda politik buruk belaka?