Kerja bersama bukan basa basi

id Siti Nurbaya, program, pemerintah, Joko Widodo, presiden, kesejahteraan, kesenjangan, rakyat, masyarakat, hutan

Kerja bersama bukan basa basi

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kiri). (ANTARA /Irsan Mulyadi)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mengatakan ajakan Presiden Joko Widodo untuk bekerja bersama menjadi kunci keberhasilan program pemerintah untuk mengatasi kesenjangan ekonomi, salah satunya lewat program Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria (RAPS).

"Jadi, kerja bersama itu bukan basa basi, tapi mutlak dilakukan untuk mempercepat program-program pemerintah termasuk Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria," kata Menteri Siti saat menutup Konferensi Tenurial 2017 di Jakarta, Jumat.

Konferensi selama tiga hari, 25-27 Oktober yang diselenggarakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Tenurial itu menghasilkan sejumlah rekomendasi, salah satunya mendorong kolaborasi antar-lembaga dan kementerian untuk mempercepat realisasi program redistribusi tanah dan askses masyarakat atas kawasan hutan itu.

Menteri mengatakan rekomendasi konferensi itu akan dilaporkan ke Presiden Joko Widodo dengan menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antar-lembaga dan kementerian untuk menuntaskan program Nawacita itu.

"Saya akan memaparkan secara khusus tentang peran masing-masing lembaga dan kementerian lain untuk menyukseskan program ini," ujar Menteri.

Konferensi Tenurial yang didukung KLHK dan Kantor Staf Presiden itu diikuti 541 peserta yang terdiri dari pakar, akademisi, aktivis lingkungan, aparatur pemerintah daerah, masyarakat adat, pendamping dan melibatkan 44 organisasi masyarakat sipil.

Peserta dibagi dalam 11 panel untuk membahas berbagai tema secara terfokus mulai dari percepatan pencapaian target RAPS, pengakuan hak tenurial, perlindungan masyarakat adat, hak masyarakat dalam areal konservasi, pemulihan gambut, pengembangan ekonomi berbasis kehutanan dan peran swasta dalam menghormati hak tenurial.

Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB Hariadi Kartodiharjo yang membacakan kesimpulan dan rekomendasi mengatakan konferensi itu bertujuan menghasilkan peta jalan yang bisa menjadi rujukan penyusunan kebijakan dan memberikan kerangka kerja pemerintah bagaimana bekerja bersama-sama dalam percepatan RAPS di Indonesia.

Rekomendasi yang muncul antara lain dari sisi kebijakan dan peraturan perundangan di mana perlu kebijakan nasional untuk mencegah dan menyelesaikan terjadinya konflik tenurial secara komprehensif di semua sektor dan daerah.

"Perlu terobosan untuk mempercepat penetapan hutan adat yang selama ini disyarakat dengan peraturan daerah," tuturnya.

Selain itu, perlu penguatan kelembagaan Tim Percepatan dan Tim Pelaksana Penyelesaian Pengusaaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PTKH), agar sejalan dengan kondisi di lapangan, serta melakukan monitoring dan evaluasi kebijakan dan kelembagaan ini, guna dapat melakukan penyesuaian kelembagaan jika dianggap tidak efektif.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Simbolinggi mengatakan janji pemerintah untuk mewujudkan keadilan agraria masih membutuhkan kerja keras dan komitmen kuat.

"Prosedur yang sangat berbelit-belit dan respon yang sangat lambat. Ini membuat kami mulai mempertanyakan komitmen janji politik bagi masyarakat adat," ucap Rukka.

Ia mengatakan AMAN telah menyerahkan peta indikatif wilayah kelola masyarakat adat ke Kementerian LHK di mana ada jutaan masyarakat adat yang menduduki 5,6 juta hektare kawasan hutan dan 1,75 juta hektare di luar hutan.

Program RAPS dirancang pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Pemerintah pun berkomitmen mendistribusikan lahan seluas 9 juta hektare lewat program Reforma Agraria dan akses terhadap 12,7 juta hektare hutan lewat program Perhutanan Sosial.