Menyoal pemanfaatan hutan untuk kemakmuran rakyat

id sumsel,perhutanan sosial, pemanfaatan hutan, kemakmuran rakyat

Menyoal pemanfaatan hutan untuk kemakmuran rakyat

Situasi hutan yang tetap terjaga melalui penerapan skema perhutanan sosial. ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi.

Palembang, Sumsel (ANTARA) - Puluhan juta areal lahan di Indonesia masih dalam kondisi tidak produktif. Hal ini tentunya akan memicu dampak kurang menguntungkan bagi masyarakat.

Kontribusi hutan terhadap pendapatan masyarakat sekitar hingga saat ini tergolong sangat rendah. Tidak mengherankan bila masyarakat sebenarnya mengincar tanahnya, bukan hutannya.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor Prof Sudarsono menjelaskan saat ini masih banyak sekali kendala dalam pemanfaatan hutan dengan prinsip bahwa sumberdaya alam harus memakmurkan rakyat.

“Pemanfaatan sumberdaya alam itu harus diarahkan untuk mencapai sebesar-besar  kemakmuran rakyat sebagai tujuan utamanya. Alokasi tanah nasional itu harus ditujukan untuk hal ini,” kata Prof Sudarsono beberapa waktu lalu.

Pengelolaan hutan di Indonesia saat ini dilakukan oleh berbagai pihak, masyarakat, pemerintah, pihak swasta maupun badan organisasi non profit atau lembaga swadaya Masyarakat (LSM). Dan menurut data, sebagian besar tanah di Indonesia, yakni dua per tiga dari daratan Indonesia, di bawah pengelolaan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam bentuk kawasan hutan.

Pengelolaan ini kemudian menjadi tantangan tak mudah karena kapasitas pengelolaan hutan yang dimiliki oleh pemerintah tidak memadai. Hal ini juga dijelaskan oleh  Prof Sudarsono.

“Pengelolaan hutan di Indonesia secara umum adalah buruk dan tidak lestari, termasuk di Sumatera Selatan dan Jambi,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan, kehutanan menguasai dua pertiga tanah Indonesia tetapi menyumbang hanya kurang dari satu persen terhadap produksi nasional. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan suatu alokasi yang  tidak optimal. Di sini peran swasta, menurut dia, bukan hanya perlu, tetapi harus.

“Khususnya untuk hutan produksi,” ujar dia.

Di seluruh Indonesia terdapat sekitar 35 juta areal yang diklaim sebagai kawasan hutan dalam keadaan tidak produktif. Menurut Sudasono kemampuan pemerintah dalam merehabilitasi hutan hanya sekitar 30 ribu ha per tahun.

“Jika keberhasilan rehabilitasi hutan adalah 100 persen, maka dibutuhkan waktu lebih dari 1.000 tahun untuk merehabilitasi areal tidak produktif yang diklaim sebagai kawasan hutan tersebut,” kata dia.

Sudarsonopun menegaskan faktanya keberhasilan rehabilitasi hutan nyaris nol persen jika dibandingkan dengan milyaran pohon sawit, karet, kopi, coklat, jeruk dan lain-lain yang telah tertanam tanpa serupiahpun anggaran negara.

 “Swastalah, termasuk rakyat, yang berperan memproduktifkan tanah Indonesia,” tegas dia.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, Pandji Tjahjanto, S.Hut, M.Si di tempat terpisah menjelaskan bahwa program untuk melakukan penanaman bibit di hutan sudah dilakukan. Namun masih terkendala dengan monitoring untuk memastikan pertumbuhan dari bibit yang ditanam.

 “Menanam banyak tapi tingkat tumbuh hidup masih rendah,” kata dia.

Iapun mengatakan perlu ada uluran tangan dari pihak swasta untuk membantu program rehabilitasi hutan. Pandji menjelaskan sedang mengupayakan untuk melakukan monitoring pertumbuhan bibit tanamana melalui aplikasi "Geotech". Inipun akan mengajak kerja sama dengan pihak swasta.

Kerja sama dengan stakeholder terkait termasuk swasta dan Masyarakat untuk rehabilitasi hutan, menurut Pandji, diperlukan. Hal ini untuk meningkatkan tutupan lahan khususnya di wilayah Sumatera Selatan.

“Saat ini tutupan lahan yang masih baik di angka 17,75 persen. Untuk itu kita ingin meningkatkan lagi,” tegas dia.

Untuk itu, Pandji mengapresiasi salah satu gerakan inisiasi sektor swasta #satujutapohoMBJhijaukanSumatera yang digulirkan oleh PT Marga Bara Jaya, Perusahaan infrastruktur dan logistic yang beroperasi di wilayah Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

“Gerakan ini membantu upaya pemerintah untuk menambah tutupan lahan salah satunya di wilayah Sumsel,” kata dia.

Dan upaya swasta dalam menghijaukan kembali hutan, Pandji berpesan untuk juga melakukan monitoring supaya bibit yang ditanam dapat tumbuh dengan baik yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi bumi dan juga masyarakat.

Saat ini, jelas Pandji, ada program hutan masyarakat yang sering dikenal dengan perhutanan sosial. Program ini memberikan akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan. Luas lahan perhutanan sosial di Sumsel adalah 120 hektare dan untuk lahan pencadangan seluas 340 hektare. (*)