Jakarta (ANTARA) - Suwandi Frans Sutoyo (30 tahun) membuka perlahan penutup rumah lebah madu kelulut atau stup yang terbuat dari potongan-potongan kayu untuk memeriksa koloni lebah tanpa sengat agar tidak diganggu semut dan cicak.
Tubuhnya sedikit membungkuk menarik lapisan plastik yang menutupi pintu atas kotak rumah lebah yang bernama latin Trigona itama tersebut. Dia memasang mata jeli dengan mengamati setiap sudut sarang guna memastikan madu terbentuk dengan sempurna.
"Lebah kelulut tidak menyengat, jadi tidak usah takut untuk mendekat. Rasa madunya manis dan sedikit asam," kata Suwandi, Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Budi daya Madu Kelulut di Desa Tuwung, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah, pada pertengahan Januari 2024.
Desa Tuwung berjarak sekitar 40 kilometer dari Kota Palangka Raya, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah. Untuk menjangkau desa ini membutuhkan waktu satu jam perjalanan.
Pada tahun 2015 - 2016, Desa Tuwung pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan sehingga membatasi jarak pandang, hanya dua sampai tiga meter akibat kabut asap tebal.
Kini desa itu menjadi salah satu penopang untuk mempertahankan kelestarian lahan hidrologis gambut. Tak ada lagi kebakaran yang menghanguskan hutan dan lahan gambut di sana. Pohon rambutan tumbuh subur menghasilkan buah berwarna merah ranum di atas tanah gambut.
KUPS Madu Kelulut memetik manfaat dari hutan gambut yang terjaga secara baik di Desa Tuwung. Belasan liter madu murni dihasilkan setiap bulan melalui pengelolaan hutan secara lestari yang dijalankan secara mandiri oleh penduduk setempat.