4. Minggu, 18 September 2022. Riski Anderiansah (20), warga Jalan Lematang Desa Lubuk Ampelas, Kecamatan Muara Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, tega menghajar dan meludahi ibu kandungnya, Marlina, hanya gara-gara ponsel.
Pelaku diam-diam mengambil HP korban dari kamarnya, setelah beberapa jam digunakan, korban menanyakan HP-nya, namun tersangka enggan mengembalikan. Beberapa kali ditanyakan kembali, membuat tersangka marah dan memukul ibunya dengan besi batang kipas angin hingga mengakibatkan korban mengalami luka-luka lebam.
5. Senin, 6 Februari 2023. Seorang ayah AB (25) warga Wanea Kota Manado, Sulawesi Utara, tega menganiaya anak bayinya hingga meninggal dunia. Pelaku memukul kepala dan bibir JV, bayi berusia 6 bulan itu, hanya karena merasa terganggu tangis anaknya saat dirinya bermain gim jenis Mobile Legend.
Sekarang vs dulu
Pelaku kejahatan yang masih berusia relatif muda, biasanya buah dari toleransi ketiadaan adab pada masa anak-anak. Akibat salah asuh, pembiaran, atau pengekangan berlebihan dapat menghasilkan anak dengan kelakuan bermasalah.
Sejumlah fakta berikut menggambarkan hal-hal yang salah namun telah lumrah terjadi di masyarakat sekarang dan perbedaannya dengan zaman dahulu.
- Tidak takut dosa. Anak yang tidak mempan dinasihati dengan “ancaman” dosa. Dinasihati orang tua dengan 1-2 kalimat, dia bisa membantah dengan produksi kata-kata yang lebih berlimpah. Dosa bukan suatu yang dia takuti, rida orang tua bukan hal yang dia cari. Egonya tinggi, segala keinginannya harus dituruti.
Anak zaman dahulu, jangankan diancam dosa, dibilang pamali saja sudah langsung mundur teratur dan nurut apa kata orang tua. Apa yang dinasihatkan orang tua ‘diiyakan’ saja meski dalam hati tidak menyetujuinya. Karena menyenangkan hati orang tua demi memperoleh ridanya adalah hal terpenting buat anak. Bila ingin meminta sesuatu, anak terlebih dulu melihat kondisi orang tua. Jika sekiranya tidak memungkinkan lebih baik urung disampaikan.
- Guru takut murid. Di berbagai sekolah bergengsi berbiaya mahal, guru biasanya “takut” dengan murid karena bila ditegur atau diperingatkan akan kesalahannya, urusannya bisa panjang. Si anak pejabat, orang kaya, atau terpandang itu akan mengadukan ke orang tua, kemudian orang tua bisa saja melabrak guru dan pihak sekolah, atau ancaman memviralkan peristiwa di media sosial.
Pada masa lalu, sosok guru sangat dihormati dan disegani. Orang tua betul-betul mempercayakan pendidikan anaknya terhadap guru sehingga anaknya dididik dengan cara bagaimana pun pasrah saja. Ketika anak mengadukan perlakuan guru ke orang tua, malah anak yang dimarahi dan disuruh patuh kepada guru.
- Gurunya itu gawai. Anak-anak hingga bayi sudah kecanduan gawai karena orang tua tidak mau repot mengasuh anak. Ketika anak rewel, jalan pintasnya adalah dipegangi gawai untuk menonton Youtube, TikTok, atau platform berbagi video sejenisnya. Gawai menjadi guru setia anak-anak setiap hari.
Anak-anak zaman dulu, guru dan lainnya adalah alam. Mereka bermain di luar bersama teman-teman dengan permainan tradisional yang membuat mereka aktif bergerak dan berinteraksi sosial.
- Kebutuhan pokok kuota. Kebutuhan pokok bukan lagi sembako, kini telah bertambah satu jenis lagi dan itu menjadi yang utama, yaitu kuota. Dari bapak-bapak, ibu-ibu, hingga anak-anak, mereka menganggap kuota sebagai kebutuhan utama. Anak bisa mengamuk ke orang tua bila tidak dibelikan kuota sehingga permainan gimnya terhenti karena kehabisan kuota.
Kebutuhan pokok pada zaman kakek nenek dulu, benar-benar kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup, tidak aneh-aneh, menjalani hidup secara bersahaja dan menikmati kedamaian. Bahan makanan diambil dari apa yang disediakan alam tanpa cemaran kimiawi sehingga mereka memiliki keluhuran budi.
Generasi Emas
Memperbaiki pola didik adalah hal mendesak sebelum budi pekerti benar-benar akan mati oleh sebab perilaku adiksi terhadap teknologi.
Psikolog Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, Yuliezar Perwira Dara, mengakui bahwa anak-anak adalah penyerap informasi dari apa yang mereka tonton.
Ada perilaku ikutan pada masyarakat, khususnya pada usia anak yang masih dalam tahap imitasi. Mengikuti apa yang didengar dan dilihat
Pemerhati masalah anak-anak itu lalu menjelaskan, pada usia yang lebih matang, sebuah tontonan tidak serta merta diserap tapi disertai proses memahami, yang baik kemudian diikuti dan yang buruk ditinggalkan.
“Nah, ini tidak instan, perlu peran pendampingan dari orang dewasa yang paham anak sehingga orang tua juga wajib belajar tahap-tahap capaian perkembangan anak,” papar dia.
Sejatinya, inti dari pengasuhan dan pendidikan berada dalam keluarga, pemain utamanya adalah orang tua. Maka penting untuk mendampingi anak dalam proses tumbuh kembangnya termasuk mengontrol apa yang mereka tonton dan mainkan.
Pada bagian lain, pembinaan moral dan akhlak dengan jalan pendalaman aspek keagamaan terasa semakin menggeliat di berbagai sekolah atau lembaga pendidikan akhir-akhir ini, seperti penyelenggaraan ibadah berjamaah, ceramah agama, gerakan peduli dan berbagi, serta lain sebagainya.
Ikhtiar baik dari rumah maupun sekolah tersebut diikhtiarkan mampu memulihkan akhlak anak-anak sehingga visi membangun Generasi Emas akan terealisasi, kelak. Semoga.
Berita Terkait
Dedikasi sang guru dalam film "Budi Pekerti"
Selasa, 31 Oktober 2023 13:26 Wib
Film "Budi Pekerti" buka Jakarta Film Week 2023
Kamis, 26 Oktober 2023 13:16 Wib
Kemkominfo pakai etika dan budaya digital jaga sopan santun masyarakat
Rabu, 16 Agustus 2023 17:03 Wib
Gubernur minta anak usia dini ditanamkan budi pekerti
Senin, 30 September 2019 16:42 Wib
Kata artis senior Widyawati, budi pekerti perlu diajarkan di sekolah
Senin, 15 Juli 2019 16:06 Wib
Presiden Jokowi minta orang tua didik anak budi pekerti
Rabu, 14 Maret 2018 17:14 Wib
Gerakan literasi nasional tumbuhkan budi pekerti
Sabtu, 28 Oktober 2017 21:06 Wib
Budi pekerti - keahlian bisa jadi standar kelulusan
Senin, 28 November 2016 13:22 Wib