Fenomena viral memiliki dampak positif dan negatif

id viral,fenomena viral,dampak viral,informasi Viral,medsos,media sosial

Fenomena viral memiliki dampak positif dan negatif

Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman, Edi Santoso (Wuryanti Puspitasari)

Purwokerto (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman Edi Santoso mengatakan fenomena suatu informasi menjadi viral memiliki dampak positif dan juga negatif bagi para pengguna media sosial.

"Fenomena viral tentu saja memiliki dampak positif, salah satunya membuat suatu berita segera mendapat respon luas, termasuk dari para pembesar negara," katanya di Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis.

Edi yang merupakan dosen Magister Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman tersebut menambahkan dampak positif viral juga mendorong respon cepat dalam berbagi aksi kolektif.

Artinya, kata dia, untuk penggalangan opini dan upaya membangun aksi kolektif, medsos menjadi sarana yang memiliki kekuatan besar.

Kendati demikian, tidak dapat dimungkiri, viral juga memiliki sisi negatif, yaitu membuat masyarakat menjadi abai terhadap aspek kedalaman atau otentisitas peristiwa yang sesungguhnya terjadi.

"Seringkali yang muncul lebih dulu adalah emosi dan bukan rasio," katanya.

Dia menambahkan, viral menjadi istilah populer pada era media sosial, yang menjelaskan jangkauan dan kecepatan informasi atau berita menyebar ke seantero dunia maya.

"Kita benar-benar berada dalam sebuah 'global village'. Village itu menjelaskan suasana kita saat ini seperti di desa, di mana semua gosip atau perbincangan remeh temeh itu sampai ke telinga kita," katanya.

Dia juga menambahkan, istilah viral dapat dianalogikan sebagai istilah "hot" dalam dunia gosip.

"Yang terbaru, yang terheboh, yang lagi jadi pembicaraan banyak orang. Dengan kata lain, ini semua soal sensasi. Namun apakah semua yang sensasional ini relevan dengan kehidupan manusia?menurut saya, tidak semua. bahkan bisa jadi sebagian besarnya hanya mengotori ruang kognisi kita. Inilah salah satu wajah dari "kultur medsos" kita," katanya.

Hal itu, kata dia, juga menjelaskan fenomena "post truth".

"Orang lebih percaya pada apa yang ingin dipercaya, bukan pada fakta yang dilihat. 'You will see what you want to see'," katanya.
Hal itu, kata dia, ibarat orang yang menonton film.

"Cerita yang emosional memang lebih menarik untuk dinikmati ketimbang cerita yang masuk akal," katanya.