Menunggu kolaborasi KPK-Polri soal "sprindik"

id kpk, polisi, sprondik, kpk-polri sprindik

Menunggu kolaborasi KPK-Polri soal "sprindik"

Ilustrasi (Antarasumsel.com)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - Kisah mengenai dua lembaga penegak hukum yakni Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri, khususnya berkaitan dengan pemberantasan korupsi, dalam perspektif publik sejauh ini lebih banyak didominasi "ketidakharmonisan" ketimbang kerja sama yang sinergis.

Alih-alih publik ingin melihat bagaimana sinergi antardua lembaga antirasuah itu bekerja bahu-membahu membongkar kasus korupsi skala besar, yang terjadi justru adanya perselisihan.

Masyarakat kemudian mengenalnya dengan apa yang disebut dengan peristiswa pertarungan antara "Cicak dan Buaya".

Hubungan yang tidak enak di mata publik itu diawali saat peristiwa yang kemudian dikenal sebagai "Cicak dan Buaya Jilid I", yakni ketika Kepala Bareskrim Polri --saat itu Juli 2009-- Komjen Polisi Susno Duadji dalam kasus yang berkaitan dengan pencairan dana dari nasabah Bank Century yang merugikan nasabah triliunan rupiah.

Lebih kurang dari kasus itu, adalah soal pernyataan Susno Duadji yang kemudian sangat populer --di mana teleponnya disadap KPK--yang dimuat di Majalah Tempo edisi 6-12 Juli 2009, dan intinya menyebut KPK sebagai "Cicak" namun berani melawan "Buaya" (simbol Polri).

Malahan, sebagai imbas dari kasus ini, dua pimpinan KPK yakni Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah (Bibit-Chandra) ditetapkan Mabes Polri sebagai tersangka dan kemudian ditahan dengan tuduhan menerima suap dari Anggodo.

Sedangkan kasus "Cicak dan Buaya Jilid II" disematkan pada kasus korupsi pengadaan simulator kendaraan roda dua dan empat di Korps Lalu Lintas Polri, yang memosisikan Kakorlantas Irjen Pol Djoko Susilo (DS), yang baru saja divonis bersalah atas korupsi yang dilakukannya.

Pada kasus kedua yang melibatkan perseteruan KPK-Polri itu, intinya Polri tidak ingin kasus di Korlantas itu ditangani KPK dan meyakini bisa menyelesaikan sendiri.

Dua kasus itu, pada akhirnya membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus turun tangan, sehingga akhirnya masyarakat mengetahui babak akhirnya atas kegaduhan itu hingga hari ini.

Sebelum akhirnya Presiden Yudhoyono --dalam kasus perseteruan "Cicak dan Buaya Jilid II--menegaskan bahwa wewenang penanganan kasus korupsi di Korlantas adalah wewenang KPK, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto berharap tidak ada perselisihan antara Polri dan KPK lagi.

Ditegaskannya bahwa kedua penegak hukum tersebut seharusnya bersama-sama melakukan penegakan hukum, sehingga tidak boleh ada pertentangan dan dan pertikaian.

"Jangan sampai ada nuansa seperti zaman dahulu, Cicak-Buaya, KPK versus Polri. Tidak seperti itu lagi," kata Djoko pada akhir Juli 2012.

Momentum Sprindik
Kini, ada momentum yang tepat bagi lembaga itu untuk menunjukkan sinergitas kinerja keduanya, yang dipicu oleh permasalah "bocornya"  dokumen surat perintah penyidikan (Sprindik), yang memuat nama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik sebagai tersangka  pemberian hadiah (suap) dari PT Kernel Oil terkait korupsi di Satuan Kerja Khusus Migas (SKK-Migas).

Peristiwa "bocornya" Sprindik di KPK, sebenarnya juga pernah terjadi pada kasus Anas Urbaningrum dan juga Wali Kota Bandung Dada Rosada, sehingga dalam kasus Jero Wacik, bukanlah yang pertama.

Namun, dalam kasus Jero Wacik KPK memberikan pernyataan tegas bahwa Sprindik itu adalah palsu.

"Potongan-potongan salinan yang diduga Sprindik atas nama Jero Wacik itu adalah palsu, KPK belum pernah mengeluarkan (Sprindik) berkaitan dengan Jero Wacik, jadi apa yang beredar di media 'online' (daring) tersebut adalah palsu," kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP.

Publik sempat heboh ketika pada Kamis (5/9) malam, beredar potongan salinan dokumen berisi nama Jero Wacik selaku Menteri ESDM menjadi tersangka berdasarkan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dikirimkan dari akun surat elektronik beralamat satgasmafiahukum@gmail.com.

Bersamaan dengan beredarnya dokumen Sprindik Jero Wacik, beredar juga dokumen Sprindik berisi nama Bupati Bogor Rachmat Yasin sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian izin taman pemakaman bukan umum di Desa Antajaya, Tanjungsari, Bogor.

Dalam dokumen itu, Rachmat Yasin selaku Bupati Bogor melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Salam surat terkait Jero Wacik tidak disebutkan tanggal keluar surat dan ada tulisan "Tunggu persetujuan pengesahan RI I" dengan ditandatangani Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Bambang Widjojanto pun di banyak kesempatan juga telah membantah adanya Sprindik, yang kemudian dinyatakan palsu itu.

Bantuan polisi
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari mengatakan, KPK bisa meminta bantuan kepolisian untuk mengusut beredarnya Sprindik palsu yang menyebut Jero Wacik sebagai tersangka dalam kasus suap di SKK Migas.

"Ini harus diusut tuntas siapa pelakunya. KPK lebih baik menyerahkan pengusutan kepada Kepolisian agar energi KPK tidak habis," katanya.

Menurut dia, keberhasilan pengusutan pelaku Spirindik palsu tersebut, akan menjadi pelajaran buat siapa pun untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak terpuji.

Ia optimistis jika kepolisian mampu mengusut tuntas aktor pembuat dan penyebar Sprindik palsu tersebut.

Menanggapi aspirasi itu, Johan Budi SP menjelaskan bahwa atas kejadian tersebut, KPK akan melakukan langkah-langkah yang sedang disusun oleh Pengawas Internal KPK.

"Atas kejadian ini sedang dilakukan rapat untuk membahas langkah berikutnya, seperti juga surat panggilan palsu yang pernah dikirimkan ke salah seorang saksi dalam kasus yang disidik KPK," katanya.

Johan mengaku bahwa dokumen tersebut berbeda dengan kasus beredarnya "draft" Sprindik tersangka penerimaan hadiah Hambalang, Anas Urbaningrum sehingga membuat KPK harus membentuk Komite Etik.

"Dokumen ini berbeda dengan 'draft' sprindik Anas, kalau 'draft' itu memang diakui diterbitkan KPK, tapi kalau dokumen ini palsu, 'hoax'," katanya.

Ia menilai bahwa dengan tersebarnya dokumen tersebut ada upaya untuk mengganggu pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.

Ketua KPK sendiri Abraham Samad menegaskan bahwa dalam kasus Sprindik palsu itu, pihaknya juga meminta polisi untuk menyelidikinya.

"Kita minta pengawasan internal dan kita minta polisi untuk menyelidiki," kata Abraham Samad di arena Rakernas III PDIP, kawasan Ancol,Jakarta Utara, Sabtu (7/9).

Setelah mencermati berbagai perkembangan atas Sprindik palsu itu, di mana aspirasi publik juga mengiinginkan dua lembaga itu bersinergi, terbuka peluang untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa peristiwa "Cicak dan Buaya" mulai bisa dilupakan untuk menuju cerita sukses atas amanah yang diembankan kepada KPK dan Polri dalam memberantas korupsi.