Mengikis budaya penggunaan uang tunai

id kartum, e-money, atm

Mengikis budaya penggunaan uang tunai

Kartu Kredit (FOTO ANTARA)

Palembang (ANTARA Sumsel) - Uang sebagai alat pembayaran sejatinya sudah bisa digantikan fungsinya oleh sistem pembayaran nontunai, antara lain melalui kartu kredit, kartu anjungan tunai mandiri (ATM), maupun kartu debit.

Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat mulai memanfaatkan instrumen uang elektronik (e-money) untuk pembayaran yang bersifat mikro.

Lantas, mengapa pertumbuhan transaksi nontunai di Indonesia demikian lambat meski kalangan perbankan terbilang masif dalam menggarapnya sejak 2008?
 
Deputi Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VII Sumatera Selatan dan Bangka Belitung Salendra mengatakan bahwa faktor budaya menjadi kendala utama mengapa alat pembayaran nontunai masih rendah penetrasinya di tengah masyarakat.

"Budaya seperti membagi-bagikan uang tunai saat Lebaran, hingga merasa lebih gagah jika ada uang tunai di dompet jika dibandingkan kartu, merupakan gambaran nyata betapa primadonanya uang dalam bentuk fisik di tengah masyarakat," kata dia.

Namun, semenjak e-ticketing untuk TransJakarta diberlakukan pada tahun lalu, masyarakat mulai terbiasa menggunakan dana nontunai berbasis uang elektronik ini karena lebih simpel, mudah, cepat, dan aman.

Kartu pintar yang kini makin populer ini bisa untuk berbelanja di supermarket, membeli BBM, membeli pulsa, membayar taksi, hingga membayar tarif tol.

Ia mencontohkan Bank DKI mengeluarkan JakCard untuk pembayaran busway, BCA merilis Flazz Card yang bisa dipakai berbelanja di jaringan supermarket Alfamart, Indomaret, Carrefour, dan McDonald.

Langkah agresif pun dilakukan bank lain, seperti Bank Mandiri yang memiliki tiga produk, yakni Gaz Card untuk pembelian BBM, Mandiri Debit untuk pembayaran di Indomart, dan e-Toll Card untuk pembayaran tiket tol secara elektronik.

Tak hanya perbankan yang menggarap potensi uang elektronik ini,  operator telekomunikasi, yakni Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata juga meluncurkan produk serupa.

Telkomsel mengeluarkan layanan T-cash dan Indosat dengan Dompetku, XL Axiata mengeluarkan XL Tunai yang memanfaatkan ponsel sebagai perangkat untuk melakukan transaksi keuangan.

E-money yang setara dengan pembayaran digital ini membuat penggunanya menyimpan uang dalam jumlah relatif kecil pada kartu pembayaran atau kartu pintar yang kemudian untuk melakukan pembayaran kecil.

Walhasil, tren penggunaan uang elektronik ini terus bertumbuh meski harus diakui serapannya masih rendah.

Pada tahun 2013, total nilai transaksi e-money mencapai Rp6,7 miliar per hari atau Rp2 triliun per tahun, sementara total nilai transaksi di Indonesia adalah Rp260 triliun per tahun.

Penggunaan uang elektronik di Indonesia untuk transaksi ritel hanya berkisar 0,6 persen.

Jika dibandingkan negara maju, tentunya Indonesia tidak bisa disejajarkan karena budaya masyarakat di sana, yakni menerima gaji melalui deposit langsung, memindahkan uang dengan transfer dana elektronik, dan menghabiskan uang dengan kartu kredit dan debit.

Menurut Salendra, perluasan pemakaian uang digital masih menghadapi banyak halangan dan tantangan lantaran masyarakat lebih percaya dengan transaksi tunai.

"Ada dua hal yang sangat memengaruhi, yakni kebiasaan atau budaya dan kepercayaan. Terkait dengan kepercayaan, metode pembayaran melalui transfer antarbank, atau malah COD (cash on demand), kini lebih dipilih konsumen Indonesia dalam berbelanja 'online' atau membayar setelah barang diterima," kata dia.

    
                                                 Bank Tanpa Kantor
Untuk itu, BI mengamati celah untuk memicu pertumbuhan transaksi nontunai ada pada penggunaan telepon seluler. Penduduk Indonesia, mulai dari perkotaan hingga perdesaan, sudah menggunakan telepon gengam.

Melalui ide "bank tanpa kantor" yang mulai diperkenalkan pada tahun 2013, BI optimistis bisa menggenjot pertumbuhan transaksi nontunai pada masa mendatang. Hanya melalui jasa agen, seseorang tidak perlu ke bank untuk menambung atau menyetor uang.

Sementara itu, Asisten Direktur Bidang Sistem pembayaran Bank Indonesia Wilayah IV Dadan M. Sadrah di Palembang, Rabu (25/3), mengatakan bahwa pertumbuhannya juga belum pesat karena hingga saat ini hanya BRI yang menjalankan program tersebut.

Faktor kurangnya pemahaman masyarakat dan tingginya risiko menjadi alasan utama tiga bank lainnya yang ditunjuk BI, yakni BCA, BNI, dan Bank Mandiri belum merealisasikan Lembaga Keuangan Digital meski sudah berulang kali menguji coba para calon agen.

"Pada prinsipnya empat bank yang ditunjuk BI sudah siap secara infrastruktur, beberapa bahkan sudah uji coba. Akan tetapi, harus diakui baru BRI yang bisa merealisasikannya dengan memiliki sekitar 3.200 agen di seluruh Indonesia," ujar seusai memberikan sosialisasi mengenai LKD dengan sejumlah pelaku ekonomi di Sumsel.

Ia mengakui bahwa BI membutuhkan tambahan waktu untuk sosialisasi mengingat LKD ini belum begitu dipahami masyarakat meski sangat bermanfaat untuk membantu transaksi keuangan.

"Sebenarnya LKD ini sangat cocok dengan Sumatera Selatan yang daerahnya dikenal sebagai penghasil komoditas karet dan sawit. Seorang agen dapat bertindak sebagai bank untuk komunitasnya," kata dia.

Terkait peran agen di kawasan perkebunan karet tersebut yang hingga kini belum banyak diminati, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Taufik Husni mengatakan bahwa persoalan keselamatan menjadi alasan mengapa seseorang enggan menjadi agen.

"Apakah jika terjadi sesuatu pihak bank mau bertanggung jawab, apalagi daerah penghasil karet terkenal rawan. Anjungan tunai mandiri (ATM) saja dibobol" ujar dia.

Menjawab pertanyaan itu, Kepala Divisi Kebijakan Moneter Bank Indonesia Wilayah VII Sumsel dan Bangka Belitung Salendra mengatakan bahwa perbankan telah memiliki cara untuk menyiasati persoalan tersebut.

Ia mencontohkan BRI sebagai bank yang dipercaya pemerintah untuk menjalankan LKD telah mengasuransikan seluruh agennya. Selain itu, memberikan batasan transaksi senilai Rp1 juta.

"Jadi, uang yang ada di agen bisa saja impas karena ada yang menyetor dan ada yang mengambil. Selain itu, Bank Indonesia juga menerapkan aturan yang ketat bagi seorang agen mengacu pada prinsip kehati-hatian perbankan meski penentuan seseorang diterima atau tidak tetap ditangan bank," ujar dia.

Bank tanpa kantor yang memanfaatkan jasa agen ini diharapkan membuka akses kalangan masyarakat miskin ke perbankan yang dinyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pada akhirnya, seorang agen tidak hanya menerima dan menyetor uang dengan bermodalkan telepon seluler, tetapi pada masa mendatang dapat bertindak layaknya kantor perbankan, yakni memberikan kredit sebagai perpanjangtanganan bank.

      
                                                  Uang Tunai
Berdasarkan hasil data Bank Dunia pada tahun 2011, akses penduduk Indonesia terhadap bank masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, yakni hanya 19,6 persen.    
    
Sebagai pembanding, Malaysia 66,7 persen, Filipina 26,5 pesen, Thailand 77,7 persen, Vietnam 21,4 persen, India 35,2 persen, Tiongkok 63,8 persen, Rusia 48,2 persen, dan Brasil 55,9 persen.

Kondisi ini secara otomatis menunjukkan betapa dominannya transaksi tunai di Indonesia yang bermuara pada tingginya permintaan terhadap uang kartal sebagai alat pembayaran.

Pada tahun 2015, BI menganggarkan dana sekitar Rp3,5 triliun untuk mencetak sekitar 7,9 miliar--8,3 miliar lembar uang kartal bagi semua nominal.

Pada satu sisi lain, kepedulian masyarakat untuk menjaga fisik uang dari kerusakan terbilang sangat rendah.

Asisten Direktur Bidang Sistem pembayaran Bank Indonesia Wilayah IV Dadan M. Sadrah mengatakan bahwa pada tahun ini Bank Indonesia  menyiapkan lembar uang lebih dari Rp15 triliun untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat Sumatera Selatan yang diperkirakan akan naik sebesar 30 persen.

"Faktor pemicu utama, yakni pembangunan proyek infrastruktur, seperti Jembatan Musi IV dan Bendungan Sekip yang saat ini sedang tahapan pembebasan lahan. Pada umumnya pembayaran masih tunai atau tidak secara elektronik sehingga ada kebutuhan uang tunai yang bakal meningkat pada tahun ini," ujar dia.

Tingginya jumlah penggunaan uang untuk transaksi tunai ini mendorong BI gencar menyosialisasikan Gerakan Nasional Nontunai ke tengah masyarakat.

Lembaga pemerintah diharapkan menjadi pelopor pembayaran nontunai karena 60 persen transaksi terkait dengan penyerapan APBD dan APBN dilakukan secara tunai.

"Bank Indonesia membidik pemerintah karena mereka ini yang patut dijadikan contoh bagi masyarakat. Pemerintahnya saja tidak mau, apalagi masyarakatnya," kata Dadan.

Ia mengatakan bahwa pengurangan transaksi tunai itu dari sisi pemerintahan akan mencegah terjadinya tidak korupsi karena setiap transaksi yang dilakukan akan tercatat di lembaga keuangan yang sistem informasinya telah terintegrasi.

"Memang ini tidak bisa sekaligus, harus secara bertahap. Akan tetapi, jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sudah ada peningkatan meski belum signifikan," kata dia.

Ia menerangkan bahwa terjadinya transaksi tunai itu umumnya dari masyarakat ke pemerintah atau sebaliknya. Sementara itu, transaksi dari perusahaan (bisnis) ke pemerintah atau sebaliknya, relatif banyak yang sudah menggunakan transaksi elektronik.

Adapun, pembayaran tunai dari pemerintah ke peorangan atau sebaliknya, seperti pembayaran pajak, retribusi daerah, hasil pengolahan daerah, dan hibah.

Sementara itu, untuk kalangan bisnis, masih ditemukan pembayaran tunai, yakni untuk pembayaran pajak daerah dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), gaji karyawan, serta barang dan jasa.
"Seharusnya untuk pajak tidak usah lagi tunai, bisa melalui perbankan dan kantor pos. Inilah yang kami sebut pemerintah seharusnya jadi pelopor," kata dia.

Penggunaan alat pembayaran nontunai di Indonesia terbilang masih rendah jika dibandingkan negara lain di Asia karena dipengaruhi oleh budaya.

Berdasarkan hasil survei Bank Indonesia pada tahun 2013, sebagian besar masyarakat Indonesia ingin melihat barang terlebih dahulu sebelum membayar.

Dari rentan poin 1--100, jumlah transaksi tunai mencapai 84,1 atau menurun dari 95,5 jika dibandingkan dengan total transaksi tunai pada tahun 2012, kemudian pemakaian kartu debit dari 2,5 menjadi 5,4 poin, lalu kartu kredit dari 1,6 menjadi 9,9 poin.

Untuk serapan e-money relatif stabil di kisaran 0,3 poin, sementara voucer dari 0,1 menjadi 0,4 poin.

 "Jika penggunaan uang tunai dapat dikurangi tentunya penggunaan dana APBN untuk cetak uang akan berkurang juga sehingga dana tersebut bisa dialokasikan ke sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur," kata dia.