PB IDI: Aturan etik dan farmasi tutup celah gratifikasi dokter
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengemukakan aturan etik kedokteran dan internal profesi farmasi menutup celah gratifikasi bagi dokter untuk mencari penghasilan tambahan melalui penjualan dan pemasaran produk kesehatan kepada pasien.
"Kalau pada zaman dulu, seorang dokter mau seminar keluar kota dibiayai oleh perusahaan farmasi, dan yang dibiayai itu dokter beserta keluarganya. Namun, sekarang sudah tidak bisa lagi," kata Adib Khumaidi dalam Seminar Nasional RUU Kesehatan - Siapa Yang Diuntungkan?, diikuti dari Jakarta, Kamis.
Menurut Adib, peristiwa itu tergolong dalam tindakan gratifikasi bagi profesi dokter melalui pengaruh sales and marketing expenses atau biaya penjualan dan pemasaran. "Kejadian itu pernah diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada kurun 2016," katanya.
Laporan KPK mengungkapkan ada dugaan aliran dana sekitar Rp800 miliar dari perusahaan farmasi kepada sejumlah dokter sebagai gratifikasi atas jasa penjualan produk kesehatan kepada pasien.
"Atas dasar itu muncul kebijakan dari KPK dan IDI, salah satunya proses pencegahan tindakan gratifikasi melalui pembentukan Unit Pemantauan Gratifikasi (UPG)," katanya.
Upaya mencegah gratifikasi di kalangan dokter juga ditempuh dengan penegakan etika kedokteran, aturan di internal profesi farmasi berupa International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG), serta katalog elektronik harga obat dan alat kesehatan sebagai standarisasi harga pasaran.
"Saya misalnya sebagai seorang dokter ortopedi, tidak bisa lagi membawa alat sendiri dan menyewakan alat saya ke rumah sakit, karena sudah ada aturannya," kata dia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam agenda Public Hearing RUU Kesehatan Maret 2023 menyebut gratifikasi kepada dokter menjadi salah satu penyebab harga obat di Indonesia meningkat hingga 200 persen.
"Kenapa obat-obatan masih mahal?, karena ada sales and marketing expenses. Kenapa sih sales and marketing expenses bikin mahal?, karena ada beberapa aktivitas yang harus diberesi,” katanya.
"Kalau pada zaman dulu, seorang dokter mau seminar keluar kota dibiayai oleh perusahaan farmasi, dan yang dibiayai itu dokter beserta keluarganya. Namun, sekarang sudah tidak bisa lagi," kata Adib Khumaidi dalam Seminar Nasional RUU Kesehatan - Siapa Yang Diuntungkan?, diikuti dari Jakarta, Kamis.
Menurut Adib, peristiwa itu tergolong dalam tindakan gratifikasi bagi profesi dokter melalui pengaruh sales and marketing expenses atau biaya penjualan dan pemasaran. "Kejadian itu pernah diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada kurun 2016," katanya.
Laporan KPK mengungkapkan ada dugaan aliran dana sekitar Rp800 miliar dari perusahaan farmasi kepada sejumlah dokter sebagai gratifikasi atas jasa penjualan produk kesehatan kepada pasien.
"Atas dasar itu muncul kebijakan dari KPK dan IDI, salah satunya proses pencegahan tindakan gratifikasi melalui pembentukan Unit Pemantauan Gratifikasi (UPG)," katanya.
Upaya mencegah gratifikasi di kalangan dokter juga ditempuh dengan penegakan etika kedokteran, aturan di internal profesi farmasi berupa International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG), serta katalog elektronik harga obat dan alat kesehatan sebagai standarisasi harga pasaran.
"Saya misalnya sebagai seorang dokter ortopedi, tidak bisa lagi membawa alat sendiri dan menyewakan alat saya ke rumah sakit, karena sudah ada aturannya," kata dia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam agenda Public Hearing RUU Kesehatan Maret 2023 menyebut gratifikasi kepada dokter menjadi salah satu penyebab harga obat di Indonesia meningkat hingga 200 persen.
"Kenapa obat-obatan masih mahal?, karena ada sales and marketing expenses. Kenapa sih sales and marketing expenses bikin mahal?, karena ada beberapa aktivitas yang harus diberesi,” katanya.