Kalangan pengusaha khawatir "di- Hartati-Murdaya-kan"

id dunia usaha, kekhawatiran dunia usaha, hartati murdaya

Kalangan pengusaha khawatir "di- Hartati-Murdaya-kan"

Aosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) (Antarasumsel.com/Logo/Aw)

Jakarta  (Antara Sumsel) - Kalangan pengusaha menilai putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus Buol, Sulawesi Tengah, akan menghantui investor dalam menanamkan modal, mengkhawatirkan pengusaha "di-Hartati-Murdaya-kan", dijebloskan ke penjara.

Kekhawatiran itu muncul sesudah pengusaha terjebak situasi sulit akibat inkonsistensi kebijakan dan sikap pejabat di daerah.

"Vonis itu jelas menjadi kendala bagi investor dan putusan pengadilan tersebut sama dengan menghilangkan peluang kita meningkatkan pertumbuhan ekonomi," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J Supit, di Jakarta pada Sabtu.

Pengadilan Tipikor Jakarta pada awal Februari menjatuhkan vonis dua tahun delapan bulan penjara kepada pengusaha Hartati Murdaya, yang didakwa memberi suap kepada Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu, yang sebelumnya meminta sumbangan bagi pemilihan kepala daerah.

Hartati mengaku menjadi korban inkonsistensi kebijakan pemerintah, yang membuka peluang pejabat daerah mempermainkan kebijakan guna menekan dunia usaha, termasuk menekan dirinya, yang sudah lebih 18 tahun membangun perkebunan kelapa sawit dan memajukan ekonomi masyarakat Buol.

Menurut Anton J Supit, putusan Pengadilan Tipikor tersebut membuat kalangan usaha berpikir dua kali untuk memutuskan berinvestasi di daerah. Mereka khawatir ketidakpastian hukum dan tekanan penguasa daerah mengakibatkan mereka menjadi korban berikutnya.

Ditambahkannya, dari pengalamannya dan pengusaha lain, sejak era otonomi daerah, kepastian hukum menjadi tidak jelas. Kepala daerah mempunyai kewenangan seakan-akan tanpa batas dan cenderung menjadi penguasa.

"Banyak penguasa daerah berbuat seenaknya, termasuk kepada pengusaha. Pengusaha dimintai ini dan itu. Pengusaha tentu susah menolak, apalagi melawan. Kami jelas kalah, karena mereka punya kewenangan luas, termasuk kewenangan membolak-balik kebijakan," tambahnya.

Kondisi seperti ini, menjadi serius bagi kalangan pengusaha, apalagi yang sudah menanam ratusan miliar, bahkan triliunan rupiah, yang tentu berusaha sekuat tenaga mempertahankan investasi itu.

"Mestinya, kondisi seperti ini menjadi pertimbangan pengadilan dalam membuat putusan. Jangan tiap kali ada kasus melibatkan penyelenggara negara dengan pengusaha, selalu pengusaha dianggap salah. Negara butuh pengusaha, karena pengusaha menciptakan lapangan kerja dan menggerakan ekonomi," kata Anton Supit.

Dia menegaskan, vonis Pengadilan Tipikor terhadap Hartati Murdaya akan menjadi bahan pertimbangan kalangan pengusaha. Jika sebelumnya ada yang sudah berminat betul menanamkan modal di daerah, lalu kemudian mendengar vonis pengadilan ini, tentu mereka bakal berpikir ulang untuk berinvestasi.

Menurut Anton J Supit, jika melihat kronologi kasus Buol, akan terlihat betul bahwa Hartati Murdaya berupaya mempertahankan investasi triliunan rupiah di perkebunan sawit. Dia menjadi korban dari ketidakpastian hukum dan ketidakpastian kebijakan pemerintah.

Anton Supit menjelaskan, dulunya, Hartati diberi konsensi atas lahan seluas 75 ribu hektar untuk perkebunan sawit. Tapi, di tengah jalan, kebijakan pemerintah berubah, dan perubahan itu menjadi alat bagi penguasa setempat untuk mendapatkan untung, lantas perkebunannya diganggu.

"Dalam pandangan saya, Bu Hartati merupakan korban dari ketidakpastian hukum. Korban kebijakan berubah-ubah karena pergantian kekuasaan. Tentu, kasus ini jadi pembelajaran bagi investor," tambahnya.

Anton menegaskan, mestinya pemerintah menanamkan paradigma bahwa pengusaha adalah agen perubahan, yang menggerakkan perekonomian, katanya, mestinya, negara wajib melindungi pengusaha.

Pada saat ini, pengusaha tidak punya tempat untuk mengadu ketika ditekan dan dimintai uang oleh penguasa.

"Kepada siapa pengusaha harus mengadu? Kepada gubernur-kah? Itu tidak juga menolong. Kepada penguasa yang kewenangannya lebih tinggi? Itu juga bukan solusi," katanya. (A011)