Jakarta (ANTARA) - Ketua II Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia Ratih Ibrahim, M.M., Psikolog menekankan bahwa kondisi mental pada seorang ibu kandung yang membunuh anaknya di Brebes, Jawa Tengah, pada Minggu (20/3), masih bersifat spekulatif sehingga tidak bisa digeneralisasi dalam konteks umum.
Dalam persitiwa tersebut, seorang anak (7 tahun) meninggal dunia serta dua anak lainnya (10 dan 4,5 tahun) terluka hingga kritis dan dilarikan ke rumah sakit.
Ratih mengatakan bahwa kasus pembunuhan seperti ini harus diamati secara spesifik dengan menunggu hasil pemeriksaan dari tim psikiatri forensik kepolisian. Menurutnya, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab di benak masyarakat, terlebih karena hanya melihat melalui video yang beredar.
Meski demikian, Ratih mengidentifikasi perbuatan ibu tersebut sebagai manifestasi dari rasa keputusasaan, frustrasi, hingga kemarahan.
"Saya mengidentifikasi ada perasaan keputusasaan, frustrasi, dan kemarahan yang sangat hebat pada dia. Tapi pertanyaannya marahnya sama siapa, sama anak-anaknya? Belum tentu. Itu bisa kemarahan pada nasib atau suami," kata Ratih saat dihubungi ANTARA pada Rabu.
Menurutnya, kondisi ekonomi keluarga yang terpuruk hingga kondisi yang terjadi pada suami juga harus diinvestigasi lebih lanjut.
"Kalau saya baca (dari berita) orangnya tertutup, ya. Mungkin juga mau minta tolong sama siapa. Dan karakteristik kepribadiannya seperti apa, kita enggak tahu, karena itu juga bisa berpengaruh terhadap bagaimana dia mengambil tindakan fatal seperti ini," kata Ratih yang juga menjadi Direktur Personal Growth itu.
Ratih juga mempertanyakan maksud kata-kata yang dilontarkan ibu tersebut yang ingin membebaskan penderitaan anak-anaknya dengan cara membunuh mereka.
"Dia bilang, dengan membunuh itu berarti membebaskan anak-anaknya dari kemungkinan penderitaan yang lebih besar. Pertanyaannya penderitaan apa, apakah memang dia secara sadar melakukannya atau punya pikiran ngawur. Tapi di sisi lain dia juga bilang, 'Saya nggak gila'," kata Ratih.
Sementara pada dua anak terdampak, Ratih berharap agar pihak lain turut membantu penanganan dan proses pemulihan dengan tidak membuat kondisi mereka menjadi lebih berat. Menurut Ratih, tingkatan trauma kedua anak tersebut juga tidak dapat diperkirakan.
"Nomor satu dapat tempat berlindung dulu, mudah-mudahan mereka bisa berkembang dan bertumbuh dengan bagus dan sehat, mendapat penanganan psikologis dan terapi yang baik. Itu juga jadi doa dari kita semua agar anak-anak ini bisa sembuh dari trauma," katanya.
Berita Terkait
Psikolog: Pelaku kekerasan anak cenderung punya gangguan mental
Kamis, 4 April 2024 23:53 Wib
Kiat jaga mental anak selama mengikuti perjalanan mudik
Rabu, 3 April 2024 16:24 Wib
Ini penyebab selalu merasa stres setiap mau berangkat kerja
Sabtu, 24 Februari 2024 11:30 Wib
Dokter jiwa ingatkan waspada kesehatan mental di tempat kerja
Jumat, 23 Februari 2024 16:18 Wib
Psikiater sarankan tidak melakukan swadiagnosis penyakit mental
Senin, 19 Februari 2024 20:29 Wib
Siswa Dikma Tamtama TNI-AD uji ketahanan fisik dan mental
Sabtu, 17 Februari 2024 11:31 Wib
Pengalaman bullying bisa tingatkan risiko kesehatanmental anak
Jumat, 16 Februari 2024 11:11 Wib
144 Orang penyandang disabilitas mental menggunakan hak suaranya
Rabu, 14 Februari 2024 18:03 Wib