MK tolak permohonan uji materi UU 37/2004 yang diajukan perusahaan Korsel

id Mahkamah Konstitusi, perusahaan korea selatan, uu kepailitan,mk tolak permohonan korsel,mk uji materi,mk uji materi perusahaan korsel

MK tolak permohonan uji materi UU 37/2004 yang diajukan perusahaan Korsel

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. (ANTARA/Maria Rosari/aa.)

Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) yang diajukan perusahaan Korea Selatan, Korea World Center Indonesia.

"Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya," ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa.

Pemohon yang diwakili direktur utama berkewarganegaraan Korea Selatan Gi Man Song, menguji Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU karena merasa mendapat diskriminasi dari pasal-pasal itu.

Pasal 235 ayat (1) UU KPKPU berbunyi, "Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apa pun". Sementara Pasal 293 ayat (1) UU KPKPU berbunyi, "Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam UndangUndang ini."

Ada pun pemohon dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya dalam perkara Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pemohon berpendapat pihaknya dinyatakan pailit bukan karena utang-piutang tetapi oleh suatu kewajiban membayar jasa mediator.

Pemohon telah melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK), tetapi tidak dapat diterima karena perkara berawal dari adanya PKPU. Pemohon ingin agar putusan PKPU yang pertimbangannya keliru dapat dikoreksi atau diperbaiki oleh badan peradilan yang tingkatannya lebih tinggi.

Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan substansi PKPU adalah hasil musyawarah perdamaian antara debitor dengan para kreditor sebagai representasi kehendak dari kedua belah pihak.

"Oleh karena itu, tidak ada relevansinya mengkhawatirkan adanya putusan PKPU oleh peradilan yang perlu dikoreksi atau diperbaiki karena adanya kekeliruan," ucap Enny Nurbaningsih.