Psikolog minta jangan ada label negatif pada korban TPPO modus pengantin

id modus pengantin,korban tppo modus pengantin,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara hari ini, palembang hari ini, jem

Psikolog minta jangan ada label negatif pada korban TPPO modus pengantin

Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobby Anwar Maarif (kanan) bersama Ketua DPC SBMI Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar) Mahadir (kiri), Pengacara Publik LBH Jakarta Oki Wiratama (kedua kanan) dan korban kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Monica (kedua kiri) menjawab pertanyaan wartawan saat konferensi pers, di Jakarta, Sabtu (23/6/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama.

Jakarta (ANTARA) - Psikolog yang merupakan Komisi Ahli Himpunan Psikologi Indonesia - Jakarta Raya (Himpsi Jaya) Sigid Edi Sutomo mengimbau masyarakat untuk tidak memberikan citra atau pelabelan negatif terhadap para korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) modus pengantin pesanan untuk proses pemulihan psikologis korban.

"Jangan ada 'labelling' (pelabelan) yang negatif terhadap mereka (korban TPPO)," kata Sigid kepada ANTARA, di Jakarta, Jumat.

Lingkungan sekitar harus mendukung dan membantu para korban TPPO tersebut untuk pulih dan bangkit agar produktif di tengah masyarakat.

Pemerintah setempat juga perlu menyosialisasikan kepada masyarakat di mana para korban akan kembali pulang dan melanjutkan kehidupannya, agar menerima mereka dengan hangat.

Menurut Sigid, para korban sudah seharusnya diterima sebagai anggota masyarakat yang normal. Masyarakat diimbau untuk tidak memperlakukan mereka sebagai orang asing.

"Mereka (para korban) harus diterima kembali sebagai warga negara, warga lingkungan yang normal dan tidak perlu diasingkan, jangan ada yang diasingkan, jangan ada labelling," tuturnya.

Diberitakan, sebanyak 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Barat menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus perkawinan (pengantin pesanan).

Para perempuan korban direkrut untuk dibawa ke negara calon suami di China dengan cara dibujuk rayu menikahi laki-laki dari keluarga kaya, diiming-imingi sejumlah uang, dan
dijamin hidupnya.

Pernikahan fiktif itu hanya sebagai kedok, justru 29 perempuan Indonesia itu mengalami kekerasan hingga eksploitasi di China.