Palembang (Antarasumsel.com) - Seorang peneliti menyebut bahwa budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai sosok utama dan sentral dalam organisasi sosial terbukti telah mengganjal peran perempuan di bidang politik.
Peneliti Lembaga Kajian Pengembangan Partisipasi Masyarakat Dr Tuswuyo di Palembang, Rabu, mengatakan, hingga kini Indonesia sangat sulit mewujudkan cita-cita sebanyak 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
Ia yang dijumpai di sela-sela "Pelatihan Kepemimpinan Bagi Perempuan Potensional Calon Kepala Daerah" mengatakan kesenjangan gender di Indonesia merupakan penyebab rendahnya keterlibatan perempuan di politik.
Perempuan yang menjadi wakil rakyat di DPRD Kabupaten/Kota hanya 14 persen, di DPRD Provinsi hanya 16 persen, di DPR 17,32 persen, dan di DPD 25,76 persen.
"Dampaknya, hingga kini masih sering dijumpai perda-perda yang bias gender. Padahal jika ada keterwakilan perempuan maka perda tersebut tidak akan lahir, tapi ini juga dengan catatan bahwa wakil perempuan di parlemen ini juga memperjuangkannya," kata dia.
Berdasarkan keilmuan hanya dua cara untuk mengurangi kesenjangan gender yakni melalui struktural yakni dengan menempatkan perempuan sebagai pejabat pembuat kebijakan, atau dengan cara kultural yakni secara berangsur-angsur mengedukasi masyarakat untuk sadar kesetaraan gender.
"Perempuan juga mulai saat ini harus memilih pemimpin perempuan, karena diakui hanya perempuan yang lebih memahami mengenai kebutuhan perempuan," kata dia.
Kehadiran pemimpin perempuan ini juga diharapkan dapat mengurangi kesenjangan untuk mengaskses sumber daya mengingat didominasi laki-laki, seperti di bidang tenaga kerja dari sisi akses mendapatkan pekerjaan yangmana perempuan hanya 51,39 persen dan laki-laki 84,42 persen, sisi pendidikan diketahui buta huruf perempuan 8,9 persen sedangkan laki-laki 3,9 persen.
"Tinggal lagi bagaimana mendorong perempuan untuk mau maju ke pilkada, dan caranya budaya patriaki ini harus dilawan," kata dia.
Ia tidak menampik bahwa hal itu tidak mudah, apalagi untuk daerah-daerah tertentu seperti di Papua. Adanya budaya bahwa perempuan ketika menikah tidak memiliki hak apa-apa lagi kecuali seizin dari suami tentu saja menyulitkan perempuan untuk berkiprah.
"Jangankan untuk berpolitik, berinteraksi sosial juga terbatas. Untuk itu perlu peran dari tokoh ulama dan tokoh ada. Jika berkaitan dengan adat maka dihadapkan pada tokoh ulama tapi jika berkaitan dengan agama maka dihadapkan dengan adat, demikian solusinya," kata dia.
Berita Terkait
Pemkot Lubuklinggau gelar pelatihan cepat tanggap kasus kekerasan terhadap perempuan
Minggu, 12 Mei 2024 16:32 Wib
Lapas Perempuan Palembang berikan konseling adiksi narkotika
Rabu, 8 Mei 2024 22:15 Wib
KemenPPPA lakukan pendampingan kepada anak korban mutilasi di Ciamis
Minggu, 5 Mei 2024 14:00 Wib
Khofifah suarakan perdamaian dunia dari perempuan Indonesia
Sabtu, 4 Mei 2024 20:30 Wib
Menteri PPPA: Peringatan Hari Kartini momentum perempuan untuk bersatu
Selasa, 30 April 2024 16:20 Wib
Kilang Pertamina Plaju memberi ruang aman dan setara pekerja perempuan
Minggu, 21 April 2024 18:19 Wib
"Kartini" dari Lampung berdayakan anak-anak termarginalkan
Minggu, 21 April 2024 12:00 Wib
Presiden pesan untuk jadikan Hari Kartini lambang perjuangan perempuan
Minggu, 21 April 2024 9:49 Wib