Jakarta (ANTARA Sumsel) - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengemukakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu memilah-milah izin usaha pertambangan yang sesuai prosedur dan yang menyalahi ketentuan sehingga pengusutan kasus suap tidak akan terkesan tebang-pilih.
"Soal izin tambang di Indonesia, kini banyak bermasalah, bahkan jumlahnya mencapai ratusan yang bermasalah itu," katanya kepada pers di Jakarta, Senin.
Namun, dalam menyelidiki hal itu, KPK harus melihat apakah ada bukti suap atau tidak. "Jika ada bukti suap sikat, tetapi jika tidak ada suap, maka hal itu hanyalah problem adminsitrasi," ucapnya.
Hal itulah, menurut dia, harus menjadi pedoman dalam penentuan sanksi atau hukuman pidananya.
"Saya kira, itulah yang harus menjadi pegangan untuk penentuan sanksi pidana. Jika tidak ada dan dipaksakan, maka akan menimbulkan pertanyaan publik dan masyarakat akan menyimpulkan ada tebang pilih dalam penanganan kasus terkait izin-izin tambang," ujarnya.
Pernyataan tersebut dikemukakan menanggapi penyelidikan yang tengah dilakukan KPK terkait kasus suap izin tambang yang membuat Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka karena KPK memiliki bukti gubernur menerima suap.
Menurut Margarito, penerbitan IUP yang salah menunjuk lokasi atau bertentangan dengan UU dan juga tidak sesuai fakta tetap ada sanksinya, tapi hanya sanksi administrasi, bukan pidana. Jika demikian, maka penyelesaiannya melalui Peradilan Tata Usaha Negara atau PTUN, bukan KPK.
"Sanksi itu bisa berubah menjadi sanksi pidana, jika ada atau ditemukan bukti suap. Jika tak ada suap, seluruh ahli hukum di mana pun akan menyatakan bahwa semua itu hanyalah kesalahan administrasi belaka. Sebaliknya jika ada suap dan itu pidana, ya tangkap yang bersangkutan," ujar Margarito, menegaskan.
Dalam hubungan ini, Margarito menjelaskan, perusahaan yang membeli saham dari perusahaan lain yang telah mendapat Izin usaha pertambangan (IUP) dan yang bersangkutan kemudian tersangkut masalah hukum, maka perusahaan yang membeli sebagian saham itu tidak bisa dimintai tanggung jawab dalam hubungan dengan penerbitan IUP.
Adapun perusahaan yang mendapat izin menambang nikel di Kabupaten Bombana dan Kabupaten Konawe Selatan, Sultra, adalah PT Anugerh Harisma Barakah atau AHB dan ikut dalam afiliasi perusahaan AHB adalah PT Billy Indonesia. Kemudian PT Billy Indonesia juga memiliki rekan bisnis Richcorp International yang berbasis di Hong Kong.
Dalam kaitan ini, Margarito menjelaskan bahwa Pasal 124 ayat (1) Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara sudah jelas menyebutkan bahwa pemegang IUP wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan atau nasional.
"Jadi, pemegang IUP wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan dalam operasi produksi. Kalaupun perusahaan jasa pertambangan menjual saham pada pihak lain, maka perusahaan itu tidak dikenai tanggung jawab dalam soal IUP," tutur Margarito.
Berita Terkait
Pakar ini sebut MK takkan diskualifikasi Gibran, ini alasannya
Minggu, 21 April 2024 5:49 Wib
Wacana ibu kota legislatif, pakar sebut lebih baik fokus pindah IKN
Senin, 1 April 2024 9:35 Wib
Perhatikan ada atau tidaknya cairan dari payudara saat SADARI
Rabu, 13 Maret 2024 17:08 Wib
Pakar sebut vape tidak benar-benar membuat seseorang berhenti merokok
Kamis, 7 Maret 2024 10:34 Wib
Pakar: Permintaan maaf 78 pegawai KPK pungli terkesan teatrikal
Kamis, 29 Februari 2024 12:25 Wib
Pakar sebut deteksi dini kanker paru bantu metode pengobatan tepat
Minggu, 25 Februari 2024 13:17 Wib
Pakar: Hak angket DPR tidak dapat batalkan hasil Pemilu 2024
Sabtu, 24 Februari 2024 11:32 Wib
Pakar: Polisi patut cermat bedakan bullying dan ragging
Sabtu, 24 Februari 2024 11:17 Wib