Pemimpin Israel bermain api dengan menolak pendirian negara Palestina

id palestina,israel,netanyahu,solusi dua negara,konflik di gaza,serangan israel,penderitaan warga palestina

Pemimpin Israel bermain api dengan menolak pendirian negara Palestina

Arsip foto - PM Israel Benjamin Netanyahu. ANTARA/Anadolu.

Begitu pula dengan Perdana Menteri Israel lainnya yang berasal dari Partai Buruh, yaitu Ehud Barak, yang mengingatkan bahwa setiap upaya dari Israel untuk menguasai Tepi Barat dan Gaza sebagai satu entitas politik, hanya akan menghasilkan negara yang tidak demokratis atau sebuah negara non-Yahudi.

Tidak hanya dari Partai Buruh, Perdana Menteri Israel dari Partai Likud yang berkuasa setelah Barak, Ariel Sharon pada September 2001, juga menyatakan bahwa rakyat Palestina memiliki hak untuk menetapkan wilayah mereka di sebelah barat Sungai Yordan.

Dua tahun setelahnya atau pada 2003, Sharon juga mendukung Peta Jalan Damai, sebuah upaya menyelesaikan konflik Israel-Palestina yang dicetuskan oleh Kuartet Timur Tengah: Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Ariel Sharon sendiri pada masa lalu sebelum menjadi perdana menteri dikenal sebagai pemimpin bengis dalam pasukan Israel, salah satu catatan resminya adalah dianggap bertanggung jawab terhadap pembantaian di kamp pengungsian Sabra dan Shatila di Lebanon pada 1982.

Pengganti Sharon di posisi perdana menteri, Ehud Olmert, kala itu menyambut baik dukungan Liga Arab pada 2007 dalam Inisiatif Perdamaian Arab.

Bahkan, Olmert hingga menulis di media asal Inggris, Guardian, bahwa Israel siap untuk "konsesi yang menyakitkan" guna mencapai perdamaian dengan Palestina.

Semua proses ke arah perdamaian untuk Israel dan Palestina itu seperti dilempar ke tong sampah begitu saja dengan komentar dari para pemimpin Israel, saat ini, termasuk yang dilontarkan Perdana Menteri Netanyahu.

Seperti diketahui, Israel melancarkan serangan udara dan darat tanpa henti di Jalur Gaza sebagai balasan atas serangan lintas batas oleh Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menurut Tel Aviv menewaskan 1.200 korban.

Namun, tindakan bombardir yang membabi buta itu (dengan dukungan amunisi dari sejumlah negara Barat) telah membuat sekitar 25.000 warga Palestina terbunuh akibat serangan Israel, sementara 62.000 orang terluka, menurut otoritas kesehatan Palestina.

Data dari PBB sendiri juga menyatakan bahwa serangan Israel juga menyebabkan 85 persen penduduk Gaza harus mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah kantong Palestina itu rusak atau hancur.

Tidak heran bila Israel sekarang digugat dalam kasus genosida oleh Afrika Selatan yang didukung berbagai pihak, dalam Mahkamah Internasional (ICJ).


Tidak puas

Bukannya menyadari tentang berbagai kepedihan dan kesengsaraan bencana kemanusiaan yang terjadi di Gaza, Netanyahu sepertinya tidak merasa puas dalam nafsunya untuk menghancurkan serta berjanji untuk melanjutkan peperangan, apa pun hasil yang diperoleh di ICJ.

Dengan bersikap keras kepala seperti itu, tampaknya sikap pemimpin Israel saat ini adalah akan mengarah kepada solusi satu negara, di mana hanya ada satu negara (Israel) yang menguasai seluruh daerah, termasuk wilayah pendudukan di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Para pendukung solusi satu negara itu berdalih bahwa penerapan konsep satu negara adalah karena secara de facto, saat ini situasi di Israel/Palestina sudah seperti pengelolaan (penjajahan) oleh satu negara, yaitu negara Zionis Israel.

Penerapan seperti itu tidaklah populer, berdasarkan survei oleh lembaga Pulse pada 2023, mengungkapkan bahwa solusi satu negara demokratis hanya didukung 23 persen warga Palestina dan hanya 20 persen warga Yahudi Israel.

Selain itu, PBB juga berulang kali menyatakan bahwa lembaga dunia tersebut tetap konsisten untuk mendukung solusi dua negara, terutama setelah adanya pernyataan dari Perdana Menteri Netanyahu yang intinya menentang pendirian negara Palestina.

Juru Bicara Stephane Dujarric kepada wartawan pada Kamis (18/1) menegaskan bahwa Sekjen PBB Antonio Guterres tetap mendukung solusi dua negara.


Hidup berdampingan

Selain itu, Dujarric juga mengungkapkan bahwa Guterres akan menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk mengembalikan segala sesuatu ke jalur yang benar, sehingga aspirasi, harapan, dan keprihatinan yang sah dari rakyat Israel dan rakyat Palestina dapat terpenuhi, serta pada akhirnya bisa hidup berdampingan.

Sehari setelahnya, Presiden AS Joe Biden menuturkan kepada wartawan bahwa solusi dua negara masih mungkin terjadi, meski Netanyahu masih berkuasa.

Pernyataan dari Gedung Putih mengenai pembicaraan antara Biden dan Netanyahu juga menyebut bahwa "Presiden juga membahas visinya untuk perdamaian dan keamanan yang lebih tahan lama bagi Israel yang sepenuhnya terintegrasi di kawasan dan solusi dua negara dengan jaminan keamanan Israel".

Solusi dua negara, perlu disadari sebenarnya adalah strategi yang paling pas bagi Israel sendiri, untuk menjamin keamanan bagi masyarakat yang bertempat tinggal di negara yang berdiri sejak 1948 itu.

Hal itu karena pencaplokan yang dilakukan Israel terhadap berbagai wilayah Palestina, terutama setelah Perang Enam Hari 1967, adalah pangkal yang mengakibatkan konflik hingga saat ini.

Berbagai pakar juga telah mengingatkan bahwa dengan menerapkan solusi dua negara secara efektif akan menjamin keamanan, baik bagi Israel maupun Palestina, termasuk kedamaian di kawasan.

Untuk itu, tindakan dan pernyataan dari berbagai elite Israel yang mencampakkan solusi dua negara, dengan menentang pendirian negara Palestina, sama saja dengan "bermain api".

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pemimpin Israel bermain api dengan menolak pendirian negara Palestina