Memastikan pesepak bola Indonesia benar-benar bermain di klub asing

id Wina Armada Sukard,sepak bola,berita sumsel, berita palembang

Memastikan pesepak bola Indonesia benar-benar bermain di klub asing

Pesepak bola Timnas Indonesia Marselino (kiri) berebut dengan bola dari pesepak bola Timnas Argentina Ivan Gonzalez (kanan) saat pertandingan FIFA Match Day di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Senin (19/6/2023). Argentina mengalahkan Indonesia dengan skor 2-0. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

Keempat, secara finansial pemain memperoleh penghasilan yang memadai. Walaupun sebenarnya ini cuma faktor pelengkap, bukan merupakan faktor utama yang menentukan. Hal ini lantaran bisa saja income di dalam negeri justru lebih besar.

Penghuni bangku cadangan

Dalam 5 tahun terakhir sejumlah pemain Indonesia dikontrak klub-klub asing. Sebut saja Amiruddin Bagus Kahfi (Jong Utrecht di Belanda), Egy Maulana Vikri (FC Vion Zlate Moravce), Witan Suleman (AS Trencin), Marselino Ferdinan (KMSK Deinze). Ada pula Pratama Arhan (Verdy Tokyo). Lalu ada juga Saddil Ramdani (Sabah FC) dan Asnawi Mangkualam (Jeonnam Dragons) dan lainnya. Sebelumnya, Irfan Bachdim pernah pula dikontrak di Hokkaido Consadole Sapporo. Itu sekadar menyebut beberapa contoh.

Kecuali pemain yang dikontrak di klub Korea dan negara Asia lainnya, boleh dikatakan sebagian besar pemain Indonesia yang berkiprah di klub Eropa dan Jepang mengalami kegagalan, bahkan gagal total.

Asa yang sebelum dikontrak melambung begitu tinggi, dalam kenyataannya malah kempes secara sistematis. Para pemain Indonesia setelah dikontrak klub asing bukannya berkembang malah mengalami penurunan penampilan.

Kenapa demikian? Ternyata para pemain Indonesia yang dikontrak klub-klub Eropa dan Jepang sejak awal datang, sebagian cuma dijadikan “pemanis bangku cadangan,” bahkan sering kali dijadikan pemain cadangan pun tidak. Apalagi dipasang sebagai starter.

Berjuta alasan pemain Indonesia tidak diterjunkan dalam pertandingan, apalagi menjadi tim inti. Mulai dari harus lebih banyak melakukan penyesuaian, tidak cocok dengan pola permainan klub, bukan tipikal pemain yang sesuai dengan “selera” atau keinginan pelatih, ada pemain lain yang lebih berkualitas di posisi sama, dan sebagainya.

Tentu kita bertanya-tanya, kalau memang klub-klub tersebut tidak memerlukan pemain Indonesia, kenapa mereka mau mengontrak para pemain kita? Jelas hal ini aneh. Mengapa para klub yang sebelumnya sangat antusias mendatangkan pemain Indonesia, lantas memperlakukan pemain kita sebagai “pajangan” belaka yang tidak pernah benar-benar dimainkan? Lebih parah lagi, meskipun pemain Indonesia waktu diberikan kesempatan kecil, sudah menunjukkan kemampuan yang mumpuni, tetap saja tak pernah dipilih menjadi pemain utama.

Contohnya Arhan. Kendati dia sudah tampil ciamik di Tokyo Verdy, sampai saat ini belum pernah sepenuhnya dipercaya menjadi pemain di kompetisi Liga 2 Jepang oleh klub yang mengontraknya, apalagi jadi starter. Arhan hanya dimainkan di pertandingan kompetisi non-liga alias di kompetisi yang mereka pandang tidak begitu penting. Akibatnya, bakat dan potensi Arhan yang besar selama di sana hampir tidak berkembang sesuai harapan.

Situasi seperti ini menimbulkan tanda tanya besar: bukankah kalau sudah sejak awal diketahui pemain Indonesia tidak bakal diturunkan, tidak usah dikontrak? Kenapa pemain Indonesia tetap dikontrak tetapi hanya ditempatkan sebagai langganan bangku cadangan? Beberapa bahkan kontraknya malah diperpanjang meski tidak dimainkan, apalagi dimasukkan sebagai tim inti.

Dari berbagai kasus seperti ini kita dapat menyimpulkan, klub-klub itu tidak benar-benar membutuhkan pemain Indonesia untuk kesebelasannya, melainkan diperlukan buat hal-hal di luar lapangan. Dapat saja, misalnya, urusan marketing atau promosi.