Seni memasarkan diri minim manipulasi

id personal branding, pemasaran diri,citra diri,iklan politik,berita sumsel, berita palembang

Seni memasarkan diri minim manipulasi

Berbagai iklan politik bertebaran di jalan raya. ANTARA/Sizuka

Salah satu jurus cosplay para peserta pemilu adalah memamerkan sosok religius berikut simbol-simbolnya, seperti gelar haji, mengenakan surban, sarung, pose cium tangan kiai, dan lain sebagainya. Pemandangan yang mendamaikan bila itu berada di kehidupan nyata, namun terasa hampa ketika sekadar jadi pajangan pada poster atau baliho belaka.

Memasarkan diri (juga partai) melalui iklan-iklan di jalanan menjadi salah satu strategi agar wajah-wajah calon wakil rakyat atau calon presiden (capres) makin dikenal luas dan diingat oleh masyarakat sebagai pemilih dalam pemilu. Namun jika unsur manipulasinya terlalu kental, maka bukan simpati rakyat yang mereka dapat, melainkan malah antipati dan menjadi kontraproduktif sebagai sebuah iklan.

Belum lagi perang poster di area publik yang tidak memperhatikan etika, estetika, dan keindahan lingkungan hanya akan menjadi sampah visual, sedangkan pesan utamanya tidak tersampaikan.

 

Citra abadi

Membangun citra diri positif alangkah baiknya berbasis kesadaran dan ketulusan untuk menjadi pribadi baik dengan atau tanpa kepentingan. Pencitraan yang dibangun atas alasan kepentingan, apalagi kepentingan politik, hanya akan menjerumuskan seseorang pada ambisi menjadi figur tampak baik tapi bukan kualitas diri yang sebenarnya. Figur tampak baik hanya akan bertahan selama dia berkepentingan saja.

Berbeda halnya merk diri yang ingin diciptakan dengan motivasi menjadi pribadi yang bernilai. Bersumber dari kebaikan hati, kekuatan karakter, kecemerlangan isi kepala, serta kreativitas ide dan gagasan, sebuah merk diri akan melekat lebih abadi.

Seberapa hebat sebuah pencitraan diciptakan, tetapi pribadi imitasi tak akan memikat hati dan perilaku tipu-tipu tak akan laku, kecuali hanya untuk jangka waktu tertentu.