Kembalinya satwa burung dengan restorasi kawasan konservasi

id kawasan konservasi,burung,restorasi,TWA Muara Angke,berita sumsel, berita palembang, antara palembang

Kembalinya satwa burung dengan restorasi kawasan  konservasi

Populasi burung jalak putih (Sturnus melanopterus) di habitatnya di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta. (Dokumentasi Jakarta Birdwatcher Society). ANTARA/HO-Dokumentasi Jakarta Birdwatcher Society

Jakarta (ANTARA) - Ada bukti nyata bahwa sebuah kawasan konservasi yang sebelumnya rusak, dan kemudian bisa dipulihkan setelah dilakukan restorasi dapat mengembalikan habitat satwa, khususnya satwa burung.

Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KSDAE-KLHK) Wiratno saat kegiatan pelepasliaran sebanyak 65 ekor burung di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk Jakarta, Jumat (28/5) 2021 menyampaikan fakta itu.

Kawasan konservasi ini mulai pulih setelah direstorasi sejak tahun 2006. Keberhasilnnya ditandai dengan peningkatan tutupan vegetasi khususnya mangrove, dan kembali ditemukannya berbagai jenis burung di kawasan ini.

Kala itu, spesies burung yang dilepasliarkan terdiri atas 4 ekor jalak putih (Acridotheres melanopterus), 4 ekor pecuk padi (Phalacrocorax sulcirosttis), 10 ekor kowak malam (Nycticorax nycticorax), 4 ekor kuntul kerbau (Bubulcus ibis), dan 43 ekor tekukur (Streptopelia chinensis).

Salah satu spesies burung yang dilepasliarkan yaitu jalak putih.

Satwa dilindungi ini, terakhir kali ditemukan di TWA Angke Kapuk pada tahun 1996 sehingga pelepasliaran burung ini merupakan upaya perdana reintroduksi jalak putih ke kawasan tersebut.

Burung-burung yang dilepasliarkan ini merupakan hasil pengembangbiakan yang dilakukan oleh Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah, Taman Margasatwa Ragunan dan penangkar Sinaga Wiyogo di Jakarta.

Untuk memperkaya keanekaragaman dan meningkatkan populasi satwa di habitatnya, KLHK mencanangkan kegiatan pelepasliaran satwa bertajuk "Living in Harmony with Nature: Melestarikan Satwa Liar Milik Negara".

Kegiatan tersebut akan dilakukan oleh 25 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen KSDAE di seluruh Indonesia.

Disebutkan juga bahwa pelepasliaran burung di TWA Angke Kapuk itu merupakan salah satu pencapaian KLHK dalam mewujudkan "ex-situ link to in-situ".

Kontribusi nyata konservasi ex-situ (di luar habitat alaminya) terhadap populasi di "in-situ" (di habitat alaminya) ini diharapkan dapat memperkaya keanekaragaman hayati Ibu Kota Negara dan memotivasi seluruh pegiat konservasi untuk terus bekerja sama guna mewujudkan “Living In Harmony with Nature: Melestarikan Satwa Liar Milik Negara" itu.

 
Pekerja menanam mangrove dalam kegiatan Pekan Diplomasi Iklim 2021 di Taman Wisata Alam (TWA) Angke Kapuk, Kamal Muara, Jakarta Utara. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/hp. 



Cerita sukses

Jika merujuk ke belakang, cerita sukses mengembalikan populasi satwa burung, yang bahkan hampir punah pernah dilakukan pada burung jalak bali (Leucopsar rothschildi).

Ketua Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB) dalam sebuah seminar internasional di Gianyar, Bali pada Oktober 2015 menyatakan berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan dan meningkatkan populasi burung jalak bali di habitatnya Taman Nasional Bali Barat (TNBB).

Burung yang juga dikenal dengan"curik bali" itu, yang semula langka ditingkatkan kembali populasinya, termasuk di habitat alaminya di TNBB dengan pelepasliaran dari penangkaran di masyarakat.

Saat ini, setidaknya ada sekitar 3.500 ekor jalak bali berada di penangkaran masyarakat.

Ketika dahulu saat masih langka, jalak bali harganya bisa mencapai Rp40 juta sepasang, namun sekarang sudah banyak penangkar sehingga harganya sudah sekitar Rp4 juta saja.

Banyak masyarakat yang tidak bertanggung jawab memburu jalak bali di habitatnya karena mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Upaya yang dilakukan di antaranya, selain mengembangkanbiakkan jenis burung langka itu di Taman Safari Gianyar, juga memberdayakan masyarakat sekitar kawasan TNBB untuk menjaga dan ikut mengawasi burung tersebut.

Hal itu diperkuat di mana Pemerintah Provinsi Bali menetapkan jalak bali sebagai jenis satwa yang dilindungi sesuai Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No 421/KPTS/UM/8/1970 dan PP No 7 tahun 1989.

Dari aturan tersebut, burung jalak bali secara umum dilindungi di seluruh wilayah Indonesia baik dari hasil penangkaran, kepemilikan dan perdagangannya.

Apalagi, sebelumnya oleh "Convention on Internasional Trade Endangered Species of Flora and Fauna (CITES) dimasukkan ke dalam List Appendix I CITES atau kategori satwa yang terancam punah.

Upaya edukasi

Kegiatan pelepasliaran seperti itu, menurut Staf Khusus Menteri KLHK Bidang Konstitusionalitas Kemasyarakatan Kelik Wirawan, adalah bagian dari mempublikasikan upaya KLHK dan para mitra dalam mengembalikan satwa liar ke habitat alaminya.

Di samping itu, kegiatan tersebut juga merupakan upaya edukasi kepada masyarakat.

"Agar masyarakat turut berperan aktif dalam kegiatan perlindungan satwa di habitat alaminya dan mencegah terjadinya perburuan satwa liar," katanya.

Karena itu, sebagai bagian dari upaya pemulihan lingkungan, kegiatan perlindungan dan pelepasliaran satwa liar ini perlu lebih diekspos.

Diharapkan kegiatan ini harus bisa memberikan edukasi kepada masyarakat, sekaligus bisa menjadi gaya hidup pelestarian alam.

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menyebut dalam hal konservasi dan menciptakan lingkungan yang tepat bagi satwa, Indonesia terbilang baik.

Tidak banyak lokasi seperti Taman Safari, mungkin di Cina atau Amerika Latin yang menjadi kawasan yang baik bagi satwa endemik, namun di Eropa tidak ada yang seperti ini.

Dengan kondisi tersebut, maka agaknya cerita sukses tentang bagaimana kawasan konservasi bisa dipulihkan dan mengundang lagi datangnya satwa liar ke kawasan yang sudah baik kembali, sudah selayaknya terus diperbanyak.