Cianjur (ANTARA News Sumsel) - DPC Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia Raya (Astakira) Pembaharuan Cianjur menilai minimnya pendampingan hukum membuat sejumlah TKI menjadi korban hukuman mati di luar negeri.
Selain itu, lemahnya pembelaan dari pemerintah RI karena TKI yang melakukan kesalahan akibat tertekan dan tidak mendapat pembelaan sehingga nekat melakukan perbuatan kriminal, kata Divisi Luar Negri DPC Asyakira Pembaharuan Cianjur Supyan di Cianjur Jumat.
Selama ini, kata mantan buruh migran itu, pemerintah Indonesia kurang kuat dalam memberi pembelaan terhadap TKI karena sesuai dengan aturan setiap masalah hukum yang dialami, khususnya di Arab Saudi, ada hak pembelaan.
"Kurang tepat penempatan orang dalam bidang pembelaan hukum membuat pembelaan hanya dilakukan sebagi bentuk mengugurkan kewajiban saja," katanya.
Supyan memandang perlu ada pembenahan yang lebih baik dari pemerintah dalam menempatkan bantuan hukum untuk TKI yang selama ini terkenal sebagai pahlawan devisa.
Ia menyebutkan 70 persen TKI yang berani membunuh majikanya karena membela diri dari perilaku bejat majikan, seperti yang dialami Tuti Tursilawati TKI asal Majalengka beberapa waktu lalu.
"Ketika mereka tidak mendapat pembelaan dan dan perlindungan TKI akhirnya nekat membunuh sekalipun karena sudah tidak kuat mendapat perlakuan kasar hingga kekerasan seksual," katanya.
Pihaknya sedang menelusuri data terkait dengan permasalah TKI yang ditempatkan di Timur Tengah karena dikhawatirkan ada warga Cianjur yang divonis hukum mati.
Ketua DPC Astakira Pembaharuan Cianjur Ali Hildan menambahkan bahwa berdasarkan pengalamannya bekerja sama dengan Dubes RI di Timur Tengah, terkesan kurang memberi pembelaan terhadap TKI bermasalah.
"Seperti kemarin saat saya menangani kasus TKI yang terdampar di Irak ingin pulang karena aturan kerjanya tidak sesuai dengan perjanjian kontrak yang telah disepakati," katanya.
Kedutaan siap membantu memulangkan jika TKI tersebut mau mengganti rugi pada majikan dan harus membayar tiket pesawat sendiri.
TKI yang ingin pulang tersebut tidak tahan bekerja di Timur Tengah karena harus bekerja dari pukul 05.00 hingga 01.00.
"Sudah jelas aturannya TKI yang bekerja di Timur Tengah hanya bekerka 8 jam setiap harinya. Ketika ada TKI yang bekerja 'overtime', keduataan seharusnya turun tangan membantu," katanya.
Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan masalah perlidungan dan bantuan hukum untuk TKI agar terhindar dari hukuman mati di negeri orang karena membela harga diri.
Selama ini, kata mantan buruh migran itu, pemerintah Indonesia kurang kuat dalam memberi pembelaan terhadap TKI karena sesuai dengan aturan setiap masalah hukum yang dialami, khususnya di Arab Saudi, ada hak pembelaan.
"Kurang tepat penempatan orang dalam bidang pembelaan hukum membuat pembelaan hanya dilakukan sebagi bentuk mengugurkan kewajiban saja," katanya.
Supyan memandang perlu ada pembenahan yang lebih baik dari pemerintah dalam menempatkan bantuan hukum untuk TKI yang selama ini terkenal sebagai pahlawan devisa.
Ia menyebutkan 70 persen TKI yang berani membunuh majikanya karena membela diri dari perilaku bejat majikan, seperti yang dialami Tuti Tursilawati TKI asal Majalengka beberapa waktu lalu.
"Ketika mereka tidak mendapat pembelaan dan dan perlindungan TKI akhirnya nekat membunuh sekalipun karena sudah tidak kuat mendapat perlakuan kasar hingga kekerasan seksual," katanya.
Pihaknya sedang menelusuri data terkait dengan permasalah TKI yang ditempatkan di Timur Tengah karena dikhawatirkan ada warga Cianjur yang divonis hukum mati.
Ketua DPC Astakira Pembaharuan Cianjur Ali Hildan menambahkan bahwa berdasarkan pengalamannya bekerja sama dengan Dubes RI di Timur Tengah, terkesan kurang memberi pembelaan terhadap TKI bermasalah.
"Seperti kemarin saat saya menangani kasus TKI yang terdampar di Irak ingin pulang karena aturan kerjanya tidak sesuai dengan perjanjian kontrak yang telah disepakati," katanya.
Kedutaan siap membantu memulangkan jika TKI tersebut mau mengganti rugi pada majikan dan harus membayar tiket pesawat sendiri.
TKI yang ingin pulang tersebut tidak tahan bekerja di Timur Tengah karena harus bekerja dari pukul 05.00 hingga 01.00.
"Sudah jelas aturannya TKI yang bekerja di Timur Tengah hanya bekerka 8 jam setiap harinya. Ketika ada TKI yang bekerja 'overtime', keduataan seharusnya turun tangan membantu," katanya.
Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan masalah perlidungan dan bantuan hukum untuk TKI agar terhindar dari hukuman mati di negeri orang karena membela harga diri.