"Sejak awal target serapan yang dicanangkan memang sudah tidak realistis karena Indonesia belum memiliki tingkat produktivitas yang memadai untuk memberikan toleransi harga yang diinginkan oleh Bulog," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman, di Jakarta, Kamis.
Ia memaparkan mekanisme untuk memenuhi target serapan gabah ini mengharuskan Bulog untuk menyerap gabah petani dengan target sebesar 2,7 juta ton hingga akhir tahun 2018.
Target penyerapan itu, ujar dia, dibagi menjadi dua termin yaitu Januari-Juli 2018 sebesar 2,31 juta ton dan sisanya di bulan Agustus hingga September.
Berdasarkan Inpres nomor 5 tahun 2015, Bulog hanya diperbolehkan melakukan pembelian di tingkat petani dan penggiling dengan harga di kisaran Rp 3.700 per kilogram untuk Gabah Kering Panen (GKP), Rp 4.600 per kilogram untuk Gabah Kering Giling (GKG), dan Rp 7.300 per kilogram untuk beras. Sedangkan fleksibilitas harga hanya diperbolehkan maksimal 10 persen.
"HPP membatasi daya jual petani yang ingin menjual dengan harga lebih tinggi. Hal ini akan mendorong mereka untuk menjual berasnya ke tengkulak, yang tentu saja akan memengaruhi harga beras di pasar. Musim kemarau dan serangan hama juga mengakibatkan hasil panen berkurang," jelasnya.
Ia berpendapat bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan kenaikan HPP antara lain karena harga di pasar selalu jauh lebih tinggi dari HPP.
Hal tersebut, lanjutnya, tentu akan membuat petani merugi karena mereka dihadapkan pada stok panen gabah yang terbatas dan musim kemarau panjang, serta peningkatan biaya produksi.
"Bertambahnya biaya produksi yang tinggi mau tidak mau akan memengaruhi harga beras," ucapnya.
Ia memaparkan mekanisme untuk memenuhi target serapan gabah ini mengharuskan Bulog untuk menyerap gabah petani dengan target sebesar 2,7 juta ton hingga akhir tahun 2018.
Target penyerapan itu, ujar dia, dibagi menjadi dua termin yaitu Januari-Juli 2018 sebesar 2,31 juta ton dan sisanya di bulan Agustus hingga September.
Berdasarkan Inpres nomor 5 tahun 2015, Bulog hanya diperbolehkan melakukan pembelian di tingkat petani dan penggiling dengan harga di kisaran Rp 3.700 per kilogram untuk Gabah Kering Panen (GKP), Rp 4.600 per kilogram untuk Gabah Kering Giling (GKG), dan Rp 7.300 per kilogram untuk beras. Sedangkan fleksibilitas harga hanya diperbolehkan maksimal 10 persen.
"HPP membatasi daya jual petani yang ingin menjual dengan harga lebih tinggi. Hal ini akan mendorong mereka untuk menjual berasnya ke tengkulak, yang tentu saja akan memengaruhi harga beras di pasar. Musim kemarau dan serangan hama juga mengakibatkan hasil panen berkurang," jelasnya.
Ia berpendapat bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan kenaikan HPP antara lain karena harga di pasar selalu jauh lebih tinggi dari HPP.
Hal tersebut, lanjutnya, tentu akan membuat petani merugi karena mereka dihadapkan pada stok panen gabah yang terbatas dan musim kemarau panjang, serta peningkatan biaya produksi.
"Bertambahnya biaya produksi yang tinggi mau tidak mau akan memengaruhi harga beras," ucapnya.