Peraturan Menteri BPPN pembatasan lahan bertentangan

id peraturan meneteri, pertmen, bertentangan, yusril

Peraturan Menteri BPPN  pembatasan lahan bertentangan

Prof Dr Yusril Ihza Mahendra (FOTO ANTARA/13)

...Jika ada tumpang tindih aturan apalagi peraturan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya, maka keputusan yang diambil oleh pejabat negara...
Jakarta (ANTARA Sumsel) - Pakar hukum tata negara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa peraturan menteri BPPN tahun 1999 tentang pembatasan lahan 20 ribu hektare untuk perkebunan kelapa sawit adalah bertentangan dengan peraturan diatasnya, Keppres No 37 tahun 1993.
        
Oleh sebab itu pengusaha Hartati Murdaya melalui PT Hardaya Inti Plantation memiliki hak terhadap seluruh lahan perkebunan yang telah ditanami kelapa sawit sejak jauh sebelum peraturan pembatasan lahan tersebut diterbitkan. Termasuk berhak atas semua surat-surat perizinan seperti sertifikat hak guna usaha (HGU) atas lahan tersebut.
        
Menurut Yusril di Jakarta, Senin, jika ada tumpang tindih aturan apalagi peraturan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya,  maka keputusan yang diambil oleh pejabat negara, dalam hal ini bupati Buol, seharusnya keputusan yang paling tidak merugikan rakyat atau pengusaha.
        
"Jangan sampai tumpang tindih peraturan justru dipakai sebagai dalih untuk menekan dan merugikan pengusaha. Prinsip hukum di mana pun adalah suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Dari dasar fisolofi hukum juga demikian," katanya.
        
Dalam Islam, hukum tertinggi adalah Alquran, kemudian ada Hadits, dan seterusnya. Filosofi ini juga dianut hukum romawi dan juga di negeri kita, kata Yusril saat menjadi saksi ahli dalam sidang kasus Buol di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (7/1).
        
Yusril dihadirkan sebagai saksi ahli yang meringankan pengusaha Hartati Murdaya.
        
Menurut pakar hukum itu, secara spesifik disebutkan, peraturan  Kepala BPN tahun 1999 tentang lahan perkebunan tidak sinkron dengan peraturan di atasnya, yakni keppres tentang investasi.
        
Dalam peraturan lama (keppres) tidak disebutkan batasan luas lahan bagi suatu badan atau perusahaan dalam suatu provinsi. Tetapi peraturan Kepala BPN menyebutkan satu perusahaan hanya boleh menguasai paling banyak 20 ribu hektare lahan perkebunan di satu provinsi.
        
Dalam kasus ini, perusahaan Hartati, PT HIP, telah memperoleh izin penguasaan lahan seluas sekitar 75 ribu hektare pada 1993. Jauh sebelum peraturan BPN keluar tahun 1999. Namun HIP mendapat kesulitan dalam pengurusan peningkatan status lahan yang dikuasainya itu, hingga berujung pada kasus hukum yang menyeret Hartati.                           

Tidak batalkan

   
Yusril menegaskan, izin penguasahaan lahan memang ada batas waktunya dan kemudian ada peraturan baru tentang pembatasan lahan. Tetapi hal itu tidak bisa membatalkan proses pengurusan peningkatan status lahan menjadi HGU yang dilakukan dengan mengacu pada peraturan lama.
        
"Izin lahan sudah ada. Ketika proses HGU telah berjalan lalu keluar peraturan baru,maka proses itu harus tetap berjalan dengan mengacu pada peraturan lama. Munculnya peraturan baru, sedangkan HGU terlanjur mengacu pada peraturan lama mestinya harus tetap dianggap sah.Bahkan jika izin penguasaan lahannya sudah habis," ujar Yusril.
        
Ia Yusril mencontohkan jika pada tahun 2005 ada aturan yang menyebutkan perusahaan tambang boleh  menguasai 1000 hektare lahan, dan di tahun 2013 peraturan menyebutkan hanya boleh menguasai 500 hektare  lahan, maka luas lahan  sebelumnya tetap sah  meski berbeda dengan peraturan baru.
       
"Misal di tahun 2005 luas tambang 1000 hektare namun 2013 berubah menjadi 500 hektare, apakah dengan
undang-undang baru itu hak  luas 1000 itu gugur di mata hukum, tentu saja tidak," tegasnya.
       
Apakah jika ada pertentangan peraturan dengan peraturan di atasnya,peraturan yang bawah secara otomatis batal?," tanya Ketua Majelis Hakim Gusrizal.
        
"Pada prinsipnya, peraturan itu tidak batal dan secara formil tetap berlaku. Selama MK, MA atau pengadilan tidak membatalkan suatu peraturan, maka peraturan itu secara formil tetap berjalan. Masalahnya, MK, MA itu bersifat pasif. Jika tidak ada yang mengajukan uji materi, mereka tidak akan bertindak. Hanya saja dalam prinsip hukum. Dalam pelaksanaannya, peraturan yang lebih rendah itu harus dikesampingkan, tidak digunakan. Penyelenggara negara wajib melaksanakan peraturan yang lebih tinggi," tegasnya.
        
Lebih tegas Yusril mengatakan, hal itu juga didasari pada filosofi bahwa suatu peraturan tidak bisa berlaku surut, kecuali peraturan tertentu yang sangat khusus.
        
"Di antaranya kasus crime againts humanity, pemusnahan etnis, dan kejahatan kemanusiaan lain. Ini yang dicantumkan dalam konvensi PBB," jelasnya.
        
Namun Yusril juga mengatakan, tumpang tindih peraturan seperti itu memang sering terjadi di negeri ini. Untuk itu, ujarnya, penyelenggara negara harus bijak.
        
"Prinsipnya, rakyat atau dalam kasus ini pengusaha, tidak boleh dirugikan. Kebijakan harus diambil yang paling menguntungkan bagi rakyat pengusaha. Negara tidak boleh sewenang-wenang, merugikan rakyat," tegasnya. (ANT)