Kolaborasi untuk melestarikan Bumi

id pengelolaan hutan,10 tahun jokowi,karhutla,deforestasi

Kolaborasi untuk melestarikan Bumi

Masyarakat hukum adat di Distrik Konda dalam kegiatan verifikasi objek untuk penetapan hutan adat yang dilakukan bersama Tim Terpadu Verifikasi Usulan Penetapan Hutan Adat bentukan KLHK di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, Selasa (15/10/2024) (ANTARA/Prisca Triferna)

Jakarta (ANTARA) - Tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia memasuki babak baru ketika Presiden Joko Widodo dalam periode pertama kepemimpinannya memutuskan untuk menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan pada 2014.

Siti Nurbaya Bakar, seorang politisi dengan banyak pengalaman di birokrasi, ditunjuk menjadi nakhoda Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tugas yang tidak mudah mengingat penggabungan itu berarti menyatukan dua entitas dengan fokus isu dan budaya kerja yang berbeda.

Lingkungan hidup dan kehutanan ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kehilangan kawasan hutan memiliki dampak luas terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Belum lama dilakukan penggabungan, KLHK langsung menghadapi krisis lingkungan hidup dan kehutanan, yaitu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015. Kejadian yang menghanguskan 2,6 juta hektare itu merupakan salah satu kebakaran terbesar di Indonesia. Peristiwa itu tidak hanya berdampak kepada lingkungan, tapi juga kepada masyarakat di sekitar wilayah terbakar.

Kerugian karhutla pada 2015 diperkirakan mencapai Rp220 triliun. Tidak hanya dari sektor ekonomi, terdapat 504 ribu warga terdampak akibat kejadian tersebut, termasuk anak-anak terkena infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) serta hilangnya keanekaragaman hayati.

Pemerintah langsung berbenah. Setelah sebelumnya penanganan karhutla fokus pada fase krisis, kemudian bergeser kepada aksi pencegahan dan penanganan dini. Penanganan juga fokus kepada pencegahan di lapangan dan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat untuk memberikan efek jera.

Pada 2015, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, penindakan tegas dilakukan kepada korporasi dan individu yang terlibat dalam kejadian tersebut.

Beberapa kasus yang dimenangkan KLHK terkait kasus karhutla, termasuk gugatan kepada PT Kalista Alam yang harus membayar ganti rugi sebesar Rp114,43 miliar. Kemenangan penting menandai pertama kalinya pemerintah menggugat terkait kasus karhutla, dan berhasil memenanginya. Terdapat kasus lain pula yang berhasil menang, di antaranya dengan PT National Sago Prima yang harus membayar Rp319 miliar dan PT Surya Panen Subur sebesar Rp68 miliar.

Secara total, Ditjen Penegakan Hukum KLHK sudah menggugat 25 perusahaan dalam kasus gugatan perdata dan 18 di antaranya sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht sampai dengan Juli 2024. Total ganti rugi lingkungan untuk kasus karhutla yang masuk dalam kas negara adalah Rp6,1 triliun. Nilai itu sudah dan sedang diproses masuk ke dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP).