Jakarta (ANTARA) - Tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia memasuki babak baru ketika Presiden Joko Widodo dalam periode pertama kepemimpinannya memutuskan untuk menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan pada 2014.
Siti Nurbaya Bakar, seorang politisi dengan banyak pengalaman di birokrasi, ditunjuk menjadi nakhoda Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tugas yang tidak mudah mengingat penggabungan itu berarti menyatukan dua entitas dengan fokus isu dan budaya kerja yang berbeda.
Lingkungan hidup dan kehutanan ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kehilangan kawasan hutan memiliki dampak luas terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Belum lama dilakukan penggabungan, KLHK langsung menghadapi krisis lingkungan hidup dan kehutanan, yaitu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015. Kejadian yang menghanguskan 2,6 juta hektare itu merupakan salah satu kebakaran terbesar di Indonesia. Peristiwa itu tidak hanya berdampak kepada lingkungan, tapi juga kepada masyarakat di sekitar wilayah terbakar.
Kerugian karhutla pada 2015 diperkirakan mencapai Rp220 triliun. Tidak hanya dari sektor ekonomi, terdapat 504 ribu warga terdampak akibat kejadian tersebut, termasuk anak-anak terkena infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Pemerintah langsung berbenah. Setelah sebelumnya penanganan karhutla fokus pada fase krisis, kemudian bergeser kepada aksi pencegahan dan penanganan dini. Penanganan juga fokus kepada pencegahan di lapangan dan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat untuk memberikan efek jera.
Pada 2015, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, penindakan tegas dilakukan kepada korporasi dan individu yang terlibat dalam kejadian tersebut.
Beberapa kasus yang dimenangkan KLHK terkait kasus karhutla, termasuk gugatan kepada PT Kalista Alam yang harus membayar ganti rugi sebesar Rp114,43 miliar. Kemenangan penting menandai pertama kalinya pemerintah menggugat terkait kasus karhutla, dan berhasil memenanginya. Terdapat kasus lain pula yang berhasil menang, di antaranya dengan PT National Sago Prima yang harus membayar Rp319 miliar dan PT Surya Panen Subur sebesar Rp68 miliar.
Secara total, Ditjen Penegakan Hukum KLHK sudah menggugat 25 perusahaan dalam kasus gugatan perdata dan 18 di antaranya sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht sampai dengan Juli 2024. Total ganti rugi lingkungan untuk kasus karhutla yang masuk dalam kas negara adalah Rp6,1 triliun. Nilai itu sudah dan sedang diproses masuk ke dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Pencegahan
Dalam hal pencegahan, dilakukan penguatan aksi di tingkat tapak, dimulai dengan inventarisasi potensi di setiap desa rawan karhutla, membentuk kelompok dan melakukan fasilitasi kepada masyarakat serta menyiapkan tenaga pendamping desa. Patroli terpadu juga dilakukan sekaligus deteksi dini ketika muncul titik panas atau hotspot.
Kolaborasi antar-kementerian dan lembaga terus dilakukan, apalagi sejak terjadinya karhutla pada 2015. Pemerintah secara rutin melakukan rapat koordinasi untuk penanggulangan karhutla sebagai langkah antisipasi yang mempertemukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI dan Polri serta kelompok masyarakat.
Pemerintah kemudian melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC) sebagai upaya untuk membasahi lahan gambut yang kering serta wilayah rawan karhutla dengan dukungan alutsista TNI serta data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) maupun Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Di tapak atau tempat tumbuh tanaman hutan, pengendalian karhutla juga dilakukan melalui pemberdayaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. KLHK dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), --badan baru yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo pada 2016--, melakukan juga restorasi lahan gambut dan mangrove yang kritis di Tanah Air.
Kerja bertahun-tahun membuahkan hasil, Indonesia berhasil menekan luasan kebakaran hutan dan lahan. Dari 2,6 juta hektare lahan terbakar pada 2015 turun menjadi 438 ribu hektare pada 2016, 165 ribu hektare pada 2017 serta 529 ribu pada 2018.
Menurut data sistem pemantauan karhutla SiPongi KLHK, luas karhutla sempat naik pada 2019 menjadi 1,6 juta hektare, salah satunya karena faktor El-Nino. Kemudian turun lagi menjadi 296 ribu pada 2020, 358 ribu pada 2021, 204 ribu pada 2022 dan 1,1 juta pada 2023,
Pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia dalam kurun beberapa tahun terakhir mendapatkan apresiasi dari komunitas internasional, terutama dalam hal penanganan karhutla, penurunan deforestasi serta berbagai program lain, termasuk penanganan sampah dan pemulihan lingkungan.
Capaian itu menjadi faktor pendorong bagi banyak komunitas internasional untuk bekerja sama dengan Indonesia guna menjaga keasrian hutan dan lingkungan, seperti dengan Pemerintah Norwegia dan Jerman serta badan internasional Green Climate Fund dan Bezoz Earth Fund.
Semua itu berkat kerja kolektif melalui agenda-agenda nasional, seperti program FOLU Net Sink, Zero Waste Zero Emission, kerja-kerja konservasi, ekoreparian dan pengendalian pencemaran. Agenda lainnya, pemulihan lingkungan, pengendalian karhutla, gambut, mangrove dan pengembangan dengan pola dan metode baru, seperti persemaian skala besar dan teknik pengawasan serta sistem intelijen penegakan hukum.
Penurunan deforestasi
Tidak hanya karhutla, Indonesia juga berhasil menurunkan tingkat deforestasi dalam 10 tahun terakhir. Angka deforestasi mencapai titik terendah pada 2021-2022 sebanyak 104 ribu hektare atau turun dari periode 2020-2021 sebesar 113,5 ribu hektare.
Menurut data KLHK, tingkat deforestasi tertinggi terjadi pada periode 1996 sampai 2000, sebesar 3,5 juta hektare per tahun, yang kemudian turun pada periode 2002-2014 sebesar 0,75 juta hektare per tahun.
Data World Resources Institute (WRI) Global juga memperlihatkan deforestasi terendah dicapai di era Presiden Joko Widodo. Indonesia menjadi negara nomor satu tingkat penurunan deforestasi di dunia sebesar 65 persen dalam beberapa tahun terakhir.
Penurunan tersebut dapat diatribusikan terhadap beberapa kebijakan dan program di sektor LHK yang dilakukan pemerintahan dalam 10 tahun terakhir, termasuk moratorium izin sawit baru melalui Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018, tata kelola hutan alam primer dan gambut, pengendalian kerusakan gambut dan mangrove. Kebijakan lainnya, pembatasan perubahan alokasi kawasan hutan untuk sektor non-kehutanan, Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH/TORA), pengelolaan hutan lestari, perhutanan sosial serta rehabilitasi hutan dan lahan.
Indonesia telah mencetuskan target untuk mencapai penyerapan emisi gas rumah kaca lebih besar dari yang dihasilkan untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan (forest and other land use/FOLU) pada 2030, yang dikenal sebagai Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Untuk mencapainya, pemerintah tidak hanya mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan, tapi juga mendukung pengelolaan hutan lestari, memperluas perhutanan sosial, rehabilitasi hutan, memperkuat tata kelola gambut, perbaikan dan rehabilitasi mangrove, serta penegakan hukum dan pengembangan kebijakan baru.
Presiden Joko Widodo, kala itu menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menjaga lingkungan. Karena lingkungan yang tidak dijaga akan mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat, apalagi terdampak perubahan iklim saat ini.
Lingkungan yang tidak terjaga dapat berdampak kepada kesehatan serta menyebabkan kekeringan dan akhirnya akan memberikan tekanan terhadap pangan.
Pemerintah mengambil langkah-langkah bagi pemulihan lingkungan dan rehabilitasi hutan, termasuk mencegah degradasinya dengan memberikan akses pengelolaan hutan lestari kepada masyarakat melalui Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Perhutanan Sosial sampai dengan Agustus 2024 sudah mencapai luas 8,018 juta hektare yang dikelola 1,4 juta kepala keluarga, dari target 12,7 juta hektare. Dari jumlah tersebut, sudah ditetapkan Hutan Adat seluas 265.250 hektare dan yang sedang berproses penetapan seluas 836.141 hektare.
Untuk TORA, termasuk lahan transmigrasi, yang sudah dilepaskan dari hutan secara administratif mencapai sekitar 4 juta hektare. Menjadikan persentase perizinan pemanfaatan hutan saat ini antara swasta dan masyarakat masing-masing 74,4 persen dan 25 persen per 2024.
Jika laju penambahan pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat dapat terus ditambah, maka KLHK mengestimasikan jumlah tersebut dalam lima tahun ke depan akan mencapai 63 persen untuk swasta dan 37 persen oleh masyarakat.
Capaian-capaian yang ditopang dengan berbagai kebijakan yang berpihak kepada lingkungan berkelanjutan, maka akan dapat menjadi tonggak bagi Indonesia untuk berkontribusi terhadap dunia yang lebih lestari.
Artikel ini merupakan bagian dari Antara Interaktif Vol. 86 OrkestrasiJokowi. Selengkapnya bisa dibaca di Di Sini
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kolaborasi untuk melestarikan Bumi