Jakarta (ANTARA) - Gig economy atau ekonomi gig merujuk pada tren ekonomi tenaga kerja dimana perusahaan merekrut pekerja independen (freelancer) untuk melakukan pekerjaan temporer yang berbasis hasil.
Dalam ekonomi gig, pekerja jasa memanfaatkan internet dan platform digital untuk bekerja secara bebas dan fleksibel tanpa terikat dengan suatu perusahaan. Fenomena ini muncul seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi.
Pekerjaan ekonomi gig sementara dapat menjadi batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan tetap yang layak. Namun, pekerjaan ini tak lepas dari tantangan yang kompleks, seperti keamanan dan pendapatan yang tidak stabil. Lantas, apakah kita dapat mengandalkan gig ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Fenomena ekonomi gig muncul dan berkembang pesat tahun 2014 hingga 2019, sebelum pandemi COVID-19, seiring dengan berkembangnya digitalisasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), proporsi penduduk yang mengakses internet meningkat setiap tahun. Pada tahun 2023, proporsi penduduk yang mengakses internet mencapai 69,2 persen meningkat 21,5 persen poin dari tahun 2019 yang mencapai 47,7 persen.
Saat itu, angka self-employment meningkat sangat pesat. Dari angkatan kerja sebanyak 147 juta orang pada tahun 2023, sebanyak 32 juta orang atau sebesar 21,8 persen merupakan self-employed atau wiraswasta, meningkat 2,6 persen poin dari tahun 2019 yang mencapai 19,2 persen dari total angkatan kerja.
Pekerja gig dibagi menjadi dua macam yaitu mereka yang memiliki keahlian khusus atau high-skill gig worker seperti content creator, programmer, dan website designer, dan yang tidak memiliki keahlian khusus atau low-skill gig worker seperti pengemudi ojek online dan kurir.
Ekonomi gig mampu memberikan dampak positif terhadap ekonomi nasional melalui penciptaan lapangan kerja baru. Masyarakat dapat memiliki kesempatan untuk memiliki sumber pendapatan lain selain pekerjaan utama. Namun, nyatanya mayoritas pekerja gig di Indonesia hanya mengandalkan keterampilan rendah untuk bekerja di sektor transportasi.
Menurut penelitian Permana et.al tahun 2023, diolah dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2019, terdapat 430 ribu hingga 2,3 juta orang yang bekerja di sektor gig sebagai mata pencaharian utama atau setara dengan 0,3-1,7 persen dari total angkatan kerja di Indonesia. Sebanyak 1,2 juta pekerja gig bekerja di sektor transportasi dan sisanya di sektor jasa lainnya. Tak heran platform ojek online menjadi favorit pekerja gig di Indonesia saat ini.
Dalam gig ekonomi, para pekerja lepas sangat rentan dalam dunia kerja. Hal ini bisa menjadi ancaman, sebab pekerja gig minim mendapatkan perlindungan ketenagakerjaan, seperti pensiun, jaminan kesehatan, dan jaminan kecelakaan kerja layaknya pekerjaan formal.