Pengelompokan kelas ini berdasarkan garis kemiskinan yang ditentukan dari pengeluaran perkapita per bulan hasil Susenas yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun. Oleh karena itu, Garis Kemiskinan berubah secara berkala. Pada 2024, penduduk dapat dikategorikan kelas menengah jika memiliki pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp2.040.262 hingga Rp9.909.844.
Turun kelas
Data BPS menunjukkan jumlah kelas menengah di Indonesia periode prapandemi COVID-19 pada tahun 2019 berjumlah 57,33 juta jiwa atau 21,45 persen dari total penduduk. Namun pada 2024 angka tersebut merosot menjadi 17,13 persen dari total penduduk atau sebanyak 46,85 juta jiwa. Artinya, ada 10,48 juta penduduk kelas menengah yang mengalami turun kelas selama 5 tahun terakhir.
Sebaliknya, penurunan tersebut disertai dengan peningkatan proporsi penduduk kategori menuju kelas menengah dan rentan miskin. Kelompok penduduk aspiring middle class atau menuju kelas menengah menunjukkan peningkatan dari 128,85 juta jiwa pada 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada tahun 2024. Sementara itu, proporsi kelompok rentan miskin mengalami peningkatan dari 20,56 persen atau sebanyak 54,97 juta jiwa, menjadi 24,23 persen atau sebanyak 67,69 juta jiwa. Dengan kata lain, kelas menengah di Indonesia tak hanya sulit kaya, namun juga rentan miskin.
Padahal, peran kelas menengah sangat krusial terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Kontribusi konsumsi masyarakat terhadap perekonomian mencapai lebih dari 54 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Sementara itu, konsumsi kelas menengah dan menuju kelas menengah mencakup lebih dari 80 persen dari total pengeluaran penduduk.
Selain itu, data BPS juga menunjukkan adanya pergeseran status lapangan pekerjaan pada penduduk kelas menengah. Pada 2019, sebelum pandemi, sebanyak 61,71 persen kelas menengah bekerja di sektor formal, yaitu, mereka yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai dan mereka yang berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar. Namun, pada 2024 angka tersebut turun menjadi 59,36 persen. Kelas menengah yang turun kelas berimbas pada meningkatnya pekerja formal yang pindah ke sektor informal selama 5 tahun terakhir.
Sulitnya mencari pekerjaan formal memaksa pekerja sektor formal beralih ke sektor informal. Padahal, sektor informal cenderung memiliki resiko tinggi dengan jaminan perlindungan pekerjaan minim, ketidakpastian penghasilan, serta sangat rentan akan gejolak perekonomian. Sementara itu, pengangguran berusia 30 tahun ke atas kemungkinan selamanya akan berada di sektor informal karena pembatasan usia pelamar kerja.
Jika merujuk pada Undang Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah memang tidak secara eksplisit membatasi usia pelamar kerja. Namun, Pasal 35 ayat (1) UU ketenagakerjaan tersebut memberikan kekuasaan kepada pemberi kerja untuk menentukan sendiri persyaratan lowongan pekerjaan.
Meski demikian, pekerjaan gig ekonomi seperti pengemudi ojol dan kurir bisa menjadi solusi sementara bagi masalah pengangguran. Hal ini sebenarnya dapat memberikan dampak positif di tengah maraknya PHK di sektor industri manufaktur. Namun, pekerjaan gig rentan terhadap eksploitasi dan minim mendapatkan hak-hak tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya inovasi dalam memberikan perlindungan sosial untuk pekerja gig.
Pada akhirnya, era ekonomi gig bisa menjadi berkah bagi ekonomi nasional jika diiringi dengan kesiapan yang matang. Di tengah transformasi global, pengembangan skill dan keterampilan di bidang teknologi perlu masif dilakukan untuk menciptakan pekerja gig high-skill yang andal dan dapat bersaing secara internasional.
Selain itu, kebijakan ketenagakerjaan yang tepat dan perlindungan sosial yang memadai dapat memberikan keamanan dan kepastian hukum bagi pekerja gig. Tentu saja, penciptaan lapangan kerja layak di sektor formal untuk masyarakat harus tetap menjadi prioritas utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
*) Annisa Nur Fadhilah, Statistisi di BPS Provinsi DKI Jakarta
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menghadapi ledakan pekerja sektor informal di era ekonomi "gig"