Mendorong transaksi nontunai menembus pelosok desa

id bank indonesia,digitalisasi,sistem digital,ekonomi indonesia,sistem pembayaran umkm,anggota dpr ri,sistem keuangan,perba

Mendorong transaksi nontunai menembus  pelosok desa

Seorang pengunjung melakukan transaksi pembayaran melalui aplikasi uang elektronik "server based", dompet elektronik dan mobile banking saat peluncuran dan implementasi QR Code Indonesian Standard (QRIS) untuk desa wisata di Pasar Slumpring, Desa Cempaka, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (16/2/2019). (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/foc)

Mau yang mudah-mudah saja, padahal transaksi nontunai itu lebih mudah
Palembang (ANTARA) - Pandemi COVID-19 telah mengubah banyak hal, termasuk cara orang bertransaksi keuangan. Sebanyak 21 juta konsumen baru pengguna transaksi digital tercipta dalam tiga tahun terakhir, dan data Bank Indonesia  menunjukkan 72 persen konsumen baru itu berada di luar kota besar.

Namun demikian, memang belum semua yang berada di luar kota besar sudah tersentuh digitalisasi ini. Contohnya, seperti diungkapkan Yudi, Kepala Dusun Desa Sidomulyo, Kecamatan Gunung Megang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, yang warganya masih terbiasa bertransaksi tunai.

“Warga sini maunya yang gampang-gampang saja, jual buah sawit langsung ke pabrik, terus langsung dibayar cash (tunai),” kata Yudi seraya menjelaskan bahwa sebagian besar penduduk desanya  merupakan pekebun sawit yang menjual panennya ke perusahaan pengolahan. Nilai transaksi berkisar Rp1.700.000 hingga Rp2.000.000 setiap satu kali pengiriman. Rata-rata pekebun memiliki lahan sekitar 1 hektare dengan produksi satu ton tandan buah segar (TBS)

Menurut Yudi, pekebun yang memiliki areal kebun di atas 5 hektare, ia memastikan sudah menggunakan mobile banking karena alasan keamanan. Sedangkan warga lainnya, sebenarnya dapat dipacu bertransaksi secara digital asalkan diberikan sosialisasi untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan.

“Mau yang mudah-mudah saja, padahal transaksi nontunai itu lebih mudah. Di sini semua warga sudah punya telepon seluler, sinyal juga lumayan bagus, tapi pola pikir masih belum berubah,” kata dia.

Padahal, mereka sudah terbiasa menggunakan telepon seluler untuk beragam aktivitas termasuk untuk belanja online hingga memantau pergerakan harga sawit. Akan tetapi, ketika diminta bertransaksi nontunai,  mereka masih enggan.

Baca juga: BI Sumsel dorong masyarakat transaksi nontunai menggunakan QRIS

Direktur Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Fitria Irmi Triswati dalam acara Bincang Digitalisasi yang diselenggarakan Kantor Perwakilan BI Sumsel di Palembang, Kamis (9/6), membenarkan mengenai hal tersebut.

Menurut dia, hal ini karena tingkat edukasi dan literasi masyarakat mengenai digitalisasi sistem pembayaran belum merata dan menyelusup hingga ke pelosok desa.

Ia mengisahkan, ada seorang ibu di sebuah daerah terpencil Tanah Air yang masuk dalam daftar menerima dana bantuan tunai langsung dari pemerintah. Untuk mendapatkan dana bantuan tersebut, ibu tersebut harus menuju ke kota, sehingga harus mengeluarkan biaya transportasi sekitar Rp100.000, sementara dana BLT yang akan diterima Rp500.000.

“Ketika diedukasi, dan ditanya mau tidak ia menunggu saja di rumah, tapi harus mengeluarkan biaya transaksi? Ternyata kontan, si ibu menolak, dan bilang, dia mau terima full (penuh),” kata dia.

Menurut Fitria, faktor pola pikir ini juga yang menjadi salah satu kendala bagi Indonesia untuk meningkatkan digitalisasi sistem pembayaran hingga ke pelosok negeri.

Oleh karena itu, para regulator mulai dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan hingga Kementerian Lembaga terus menggencarkan kegiatan edukasi dan literasi digitalisasi sistem pembayaran ini.

Satu pola yang sama-sama disepakati oleh para regulator yakni memberikan pengalaman ke para kalangan marginal ini dalam bertransaksi digital. “Mereka harus coba dulu. Jika sudah tahu bahwa mudah, murah, aman, pasti akan mau beralih ke nontunai,” katanya.

Di tengah mulai meleknya masyarakat terhadap transaksi digital ini, Fitria menilai sangat penting kiranya semua pihak mendorong pelaku UMKM untuk juga mengenal digitalisasi.

Pengembangan sektor UMKM sangat penting karena pada 2021 terdapat 64,19 juta UMKM, yang mana dari total tersebut diketahui sebanyak 61,97 persen berkontribusi pada PDB dan 97 persen pada penyerapan tenaga kerja.

Namun, keterbatasan infrastruktur juga menjadi tantangan Indonesia dalam mendigitalisasi UMKM meski saat ini peminat transaksi digital terus meningkat di masyarakat.

Kepala Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia Yunita Resmi Sari mengatakan hingga kini penetrasi internet di Indonesia baru mencapai 76,8 persen, atau berada pada peringkat 15 di Asia karena masih banyak kawasan remote area yang tidak terjangkau.
 
 
Sejauh ini ketersediaan infrastruktur internet ini sebagian besar di Jawa. Kecepatan internet masih belum merata di Tanah Air, selain itu juga masih dihadapkan tantangan lain yakni kejahatan siber.

Bagi pelaku UMKM yang terkadang belum melek digital, bisa dikatakan bakal menjadi makanan empuk para pelaku kejahatan siber ini.

“Untuk cyber crime ini, regulator mengantisipasinya dengan membuat peraturan dan pengawasan dari hulu ke hilir guna melindungi pelaku UMKM dan masyarakat dalam bertransaksi digital,” kata dia.

Ia tak menyangkal, bukan perkara mudah untuk mendigitalisasi UMKM ini karena hanya 21 persen yang sejauh ini memanfaatkan digital di Tanah Air.

Selain itu, indeks literasi digital para pelaku UMKM hingga kini masih dalam skala ‘sedang’. Kondisi ini yang menyebabkan kurangnya talenta digital di kalangan pelaku UMKM. Pihaknya pun mengamati adanya kecenderungan dari pelaku UMKM yang belum terlalu ingin berkompetisi di bisnis.
 
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo (ketiga kiri) berbincang dengan Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru (ketiga kanan), Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Achmad Hafisz Tohir (kedua kanan), Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Filianingsih Hendarta (kiri), Ketua DPRD Provinsi Sumatera Selatan Anita Noeringhati (kedua kiri) dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Erwin Soeriadmadja (kanan) saat membuka acara Leaders Talk Digitalization On Payment System Bank Indonesia di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (10/6/2022). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)


Untuk itu, BI dalam pengembangan digitalisasi UMKM ini menerapkan tiga pilar kebijakan yakni korporatisasi, kapasitas dan akses pembiayaan bekerja sama dengan kementerian/lembaga.

Sejauh ini BI sudah mengembangkan e-farming (pemanfaatan teknologi digital pada pertanian), e-commerce (perluasan pemasaran UMKM melalui saluran pemasaran digital dan pemasaran global), e-financial support (aplikasi digital bagi UMKM untuk laporan keuangan) dan e-payment (QRIS UMKM-sarana pembayaran digital UMKM).

QRIS

Dalam mempercepat digitalisasi sistem pembayaran ini Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan mengimplementasikan penggunaan Quick Response Code Indonesian Standar (QRIS) di pasar tradisional Kota Palembang.

Setelah akrab digunakan di ritel modern maka BI menilai sudah saatnya menyasar pasar tradisional.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Erwin Soeriadimadja mengatakan untuk tahap awal diterapkan di tujuh pasar tradisional, namun pada akhir tahun diharapkan sudah di semua pasar Provinsi Sumsel.

Baca juga: BI Sumsel gandeng pemerintah percepat digitalisasi transaksi keuangan

Sejauh ini pengguna QRIS didominasi oleh kalangan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)di Sumsel dengan mencapai persentase 96,26 persen dari total 395.173 merchant.

Peningkatan penggunakan QRIS oleh pelaku UMKM ini sudah dirasakan sejak tahun lalu seiring dengan meningkatnya transaksi non tunai di masyarakat.

Artinya dari target nasional sebanyak 14 juta merchant (pedagang) UMKM pada tahun ini setidaknya Sumsel telah memberikan kontribusi cukup baik.

Namun, yang menjadi perhatian saat ini bagaimana caranya agar QRIS ini bukan hanya bertumbuh pesat di Kota Palembang tapi juga di seluruh kabupaten/kota di Sumsel. Hal ini juga sesuai harapan dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui digitalisasi.

BI terus mendorong penggunaan cara bayar melalui QRIS, dari sisi merchant maupun individu karena memberikan layanan yang cepat, mudah, murah, aman, dan handal.

Saat ini BI juga mendorong penggunaan QRIS di tempat ibadah sehingga dapat mempermudah masyarakat menyalurkan zakat, infaq dan sedekah.

QRIS merupakan kanal pembayaran yang telah diluncurkan pada 17 Agustus 2019. QRIS wajib diimplementasikan untuk QR pembayaran sejak 1 Januari 2020.

Sejauh ini jumlah merchant telah menyasar semua sektor di antaranya, pasar tradisional, minimarket, supermarket, masjid, gereja, pura, vihara, SPBU, toko pempek, instansi pemerintah, apotek, klinik, rumah sakit, dokter, hotel, pondok pesantren, universitas, sekolah, kursus, donasi dan lainnya.

Ke depan, BI juga mendorong penggunaan QRIS ini di lingkup pemerintah untuk mendorong transparansi keuangan.

Digitalisasi sistem pembayaran menjadi solusi masa depan perekonomian Indonesia karena dapat memperlancar arus distribusi barang dan jasa.

Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia Muhammad Edhie Purnawan mengatakan berdasarkan hasil riset di banyak negara disebutkan bahwa suatu negara dapat mempercepat pertumbuhan ekonominya karena penerapan digitalisasi.

Baca juga: Pertamina-BRI luncurkan pembelian BBM secara nontunai

“Kini kita meyakini bahwa digitalisasi ini menjadi salah satu faktor pendorong ekonomi,” kata akademisi dari Universitas Gadjah Mada ini pada acara Side Event Presidensi G20 Indonesia Leaders Talk Digitalization on Payment System South Sumatera Digital Economy dan Finance di Palembang, Jumat.

Namun untuk menerapkan digitalisasi ini terdapat sejumlah tantangan, salah satunya ketersediaan infrastruktur. Sejauh ini, infrastruktur internet belum merata di Indonesia, sehingga pengguna hanya terpusat di kota-kota besar.

Untuk itu, dibutuhkan komitmen dari pemerintah untuk fokus dalam penyediaan infrastruktur internet ini karena digitalisasi juga dianggap sebagai solusi bagi dunia untuk pulih dari pandemi COVID-19.

Anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hafisz Tohir mengatakan legislatif mendorong BI dan OJK serta kementerian/lembaga terkait untuk meningkatkan literasi masyarakat mengenai sistem pembayaran digital. “Ini penting. Saat ini seluruh dunia sudah menggunakan ini (digitalisasi). Jadi kita tidak boleh tertinggal,” kata dia.

Meski demikian, ia menyadari untuk menerapkan digitalisasi secara menyeluruh ini masih terkendala pada ketersediaan infrastruktur.

Oleh karena itu, ia menjanjikan, Komisi XI DPR akan bekerja sama dengan Komisi I yang membawahi Kementerian Komunikasi dan Informasi agar dilakukan pembangunan infrastruktur internet secara merata hingga ke kawasan pelosok.

Indonesia sebagai negara dengan populasi nomor lima di dunia, tentunya tak ingin hanya menjadi penonton atas kemajuan teknologi sistem pembayaran yang terus berkembang ini. Indonesia harus mengambil peran dan langkah jangka pendek yang tepat yakni mengikis kesenjangan penggunaan sistem digital antara kota dan desa.

Baca juga: BNI perluas transaksi nontunai di masyarakat