Apresiasi dunia dan rumitnya merawat gambut Indonesia

id gambut, lahan gambut, Kesatuan Hidrologi Gambut, gambut tropis, Ekosistem Gambut, hutan tanaman industri, emisi karbon dioksida, udara segar

Apresiasi dunia dan rumitnya merawat gambut Indonesia

Lokasi lahan gambut yang dibakar. (ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang)

....Ekosistem gambut Indonesia seperti tumbuhan putri malu yang terlanjur tersentuh dan memerlukan penanganan khusus....
Jakarta (ANTARA Sumsel) - Lanskap menyerupai kubah yang merupakan Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) menjadi sebuah ekosistem unik lahan basah yang ditemukan di muka bumi. Indonesia memiliki luas ekosistem gambut tropis yang mencapai lebih dari 20 juta hektare (ha), yang membentang di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua.

Namun kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) besar di 2015 yang mayoritas terjadi di lahan gambut menjadi saat yang benar-benar menyadarkan Indonesia bahwa ada yang perlu dibenahi dalam mengelola kawasan ekosistem unik ini.

Ekosistem gambut Indonesia seperti tumbuhan putri malu yang terlanjur tersentuh dan memerlukan penanganan khusus, waktu dan perhatian dari banyak pihak untuk bisa kembali lagi sedikit demi sedikit terbuka dan membawa manfaat.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut seharusnya menjadi payung hukum yang menjadi pedoman dalam pengelolaan gambut di Tanah Air, berikut pula sejumlah Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menjadi pedoman teknis pelaksanaannya.

Namun, tidak semua peraturan-peraturan tersebut dijalankan dengan lancar, karena tarik ulur revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) untuk upaya pemulihan lahan gambut di beberapa kawasan konsesi hutan tanaman industri (HTI) hingga perkebunan kelapa sawit yang diketahui mayoritas areanya berada di fungsi lindung gambut ternyata terjadi.

Kasus PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) menjadi salah satu contoh bahwa untuk menata ulang kembali pemanfaatan lahan gambut sesuai fungsinya di Indonesia itu tidak mudah.

Pemerintah dibenturkan dengan isu ketenagakerjaan, sementara desakan untuk mengatasi bencana asap tahunan yang telah menghilangkan puluhan jiwa dan menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) melebisi emisi karbon dioksida (CO2) tahunan Jerman hanya dalam tiga minggu di 2015 (laporan Guido van der Werf di Global Fire Emission Database) juga kuat di berbagai kalangan masyarakat dalam dan luar negeri.

Perlu diingat, kebakaran hutan melepaskan gas metana, yakni merupakan gas rumah kaca yang 21 kali lebih beracun dari pada CO2, namun kebakaran gambut bisa melepaskan metana 10 kali lipat dibandingkan kebakaran di jenis lahan lainnya. Secara total, dampak kebakaran lahan gambut terhadap pemanasan global bisa mencapai lebih dari 200 kali lebih besar daripada kebakaran pada jenis lahan lainnya.

Pemerintah Indonesia jelas tidak bisa menganggap remeh adanya peningkatan emisi GRK, karena Presiden Joko Widodo pada Konferensi Para Pihak (Conference of Parties/COP) untuk Perubahan Iklim PBB ke-21 di Paris telah berkomitmen menyumbang penurunannya sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan pihak lain di 2030.

Pembatalan Peraturan Menteri LHK Nomor 17/2017 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang didalamnya  mencantumkan kewajiban perusahaan pemegang konsesi HTI mengalihfungsikan lahannya yang ternyata berada di area fungsi lindung dengan ketebalan gambut lebih dari tiga meter oleh Mahkamah Agung (MA) menjadi tantangan lain untuk menyelesaikan target restorasi 2,4 juta ha lahan gambut Pemerintah.

Tenaga Ahli Kedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan mengatakan harus dicatat bahwa restorasi lebih dari 2 juta ha gambut harus diselesaikan dalam lima tahun sejak 2016 oleh pemangku kepentingan, yakni BRG dengan dukungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), masyarakat, hingga perusahaan, baik di tanah negara, tanah masyarakat maupun di lahan perusahaan.

Ancaman kebakaran hutan dan lahan gambut begitu besar sehingga, menurut dia, restorasi selain untuk mencegah semakin parahnya kawasan gambut terdegradasi jelas untuk mencegah terjadinya kebakaran di kemudian hari yang juga dapat merugikan dunia usaha. Karenanya kerja sama pihak swasta ini sangat diperlukan, terlebih dunia pun semakin menuntut produk-produk yang diproduksi secara berkelanjutan.

"KSP mendorong pelaku usaha mengambil peran signifikan dalam restorasi gambut. Selain itu mendorong koordinasi KLHK dan BRG lebih baik lagi, setidaknya kami bertemu dua kali sebulan untuk menyinergikan mereka, karena KLHK sebagai otoritas yang memberikan perizinan dan BRG sebagai badan yang mengoordinasikan restorasi," ujar Abetnego.

Ia menilai restorasi gambut di level masyarakat sudah mulai berjalan, sedangkan di level swasta masih perlu didorong. Harus diselesaikan dengan cara solutif dengan melihat dinamika lingkungan dan ekosistem dikaitkan dengan kebakaran hutan dan lahan, kerusakan gambut, dinamika global yang mementingkan perlindungan ekosistem hutan, sehingga mau tidak mau Pemerintah berhak melakukan koreksi.

"Sama seperti persoalan tenurial, `corrective action' menjadi pilihan Presiden untuk lahan gambut. Ini bukan menghukum, karena Pemerintah sedang mengoreksi kebijakannya, sedang mengoreksi bentuk-bentuk produksi, mengoreksi proses produksi," ujar Abetnego.

          
              Soal Pendanaan
Untuk merestorasi gambut maka pemetaan secara detail ekosistem perlu dilakukan untuk memahami setiap jengkal lekukannya, guna menentukan letak intervensi sekat kanal yang harus dibangun. Dan ini memakan waktu, tenaga, sekaligus biaya besar.

Sejauh ini pemetaan dengan teknologi "Light Detection and Ranging" (LiDAR) menjadi cara terbaik menghasilkan peta detail lekuk lanskap gambut hingga skala 1:2.500  (1 sentimeter di peta sama dengan 25 meter di permukaan bumi), namun biayanya jelas tidak murah untuk memetakan keseluruhan ekosistem gambut dengan cara ini, yang mencapai kisaran harga 7 dolar AS per ha.

Itu juga menjadi alasan Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama World Resources Institute (WRI) menggelar lomba pemetaan ekosistem gambut secara lengkap. Peserta lomba dari berbagai negara diharapkan bisa memberikan masukan cara memetakannya dengan hasil yang baik, relatif cepat dan murah.

BRG juga melakukan berbagai MoU, selain dengan pemerintah daerah (Pemda) di tujuh provinsi prioritas restorasi, juga dilakukan dengan peguruan tinggi hingga Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk pengawasan level muka air di lahan gambut dengan "water logger" dan tentu saja untuk pemetaan.

Badan Restorasi Gambut telah melakukan pemetaan LiDAR skala besar 1:2.500 bersama WRI seluas 644.000 ha KHG di empat kabupaten prioritas tahun pertama restorasi gambut, yaitu Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Pulang Pisau dan Meranti. Badan khusus untuk merestorasi gambut yang dibentuk Presiden Joko Widodo di awal 2016 ini memang tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), melainkan menggunaan dana hibah dari Pemerintah Norwegia yang mencapai Rp58,4 miliar untuk memetakan detail wilayah gambut di sana.

Dengan demikian, ini sudah sesuai dengan larangan untuk menggunakan dana APBN dalam proses restorasi gambut yang dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat membuka Kongres Kehutanan Indonesia VI di Jakarta, Rabu, 30 November 2016.

Terbayang betapa akan "merananya" APBN yang berasal dari pajak rakyat seandainya juga harus menanggung beban seluruh restorasi gambut, mulai dari pembasahan kembali, penanaman kembali, revitalisasi mata pencarian, terutama di wilayah konsesi yang mencapai 1,4 juta ha dari total luasan lebih dari 2,4 juta ha yang masuk area restorasi BRG hingga 2021.

Ini jadi tantangan selanjutnya, mencari cara agar restorasi berjalan tanpa membebani APBN. Kepala BRG Nazir Foead di sela-sela COP-23 di Bonn, Jerman, mengatakan badan yang dipimpinnya kini mencoba tidak hanya mendapatkan pendanaan restorasi dari hibah, tetapi mengombinasikannya dengan investasi yang melibatkan masyarakat dan pihak swasta.

Konsep Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR) Pangan, Koperasi Arrahmah, di Desa Pasirhalang, Kabupaten Sukabumi, yang mengelola produksi beras dengan mengaplikasikan teknologi akan coba diadopsi di area budi daya gambut masyarakat dengan mengajak dunia usaha bergabung.

Bagaimana pun juga, revitalisasi mata pencarian masyarakat untuk menjalankan restorasi gambut harus membawa perbaikan ekonomi bagi mereka yang hidup di area tersebut. Sehatnya lahan gambut harus sejalan dengan kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya.

Komitmen Indonesia melakukan restorasi lahan gambut yang terbakar di 2015 banyak mendapat apresiasi kalangan internasional pada pelaksanaan COP-23 di Bonn, Jerman. Tidak kurang mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore yang berkunjung ke Paviliun Indonesia dan Sekretaris Pemerintah Jerman Jochen Flasbarth ikut memberikan apresiasi terhadap komitmen ini.

Flasbarth bahkan mengatakan dirinya sangat antusias dengan program-program reboisasi dan restorasi, termasuk di lahan gambut, demi menghentikan deforestasi yang jumlahnya justru meningkat dibanding tahun sebelumnya.

Ia menyebut "Bonn Challenge" yang menargetkan reboisasi dan restorasi 150 juta ha lahan terdegradasi dan terdeforestasi di 2020 sebagai salah satu harapan mengendalikan karbon untuk mencapai Kesepakatan Paris (Paris Agreement) untuk menekan peningkatan suhu bumi di bawah 2 derajat celsius di 2030.

Ia mengaku senang dengan janji reboisasi dan restorasi 50 juta ha pada kegiatan "Bonn Challenge" di Indonesia pada semester awal 2017 dan ditambah janji yang sama yang disampaikan di New York. Dirinya juga senang proyek restorasi lahan terdegradasi bekas tambang dan perkebunan monokultur di bawah payung "Bonn Challenge" di wilayah masyarakat adat Dayak di Kalimantan dapat berjalan, sehingga diharapkan mampu mengembalikan kondisi lanskap dan perekonomian mereka.

Apresiasi dan dukungan dunia internasional, baik dalam bentuk hibah maupun transfer teknologi untuk restorasi gambut bagi sebagian mereka memang dinanti, meski sebagian lain mengambil sikap curiga dan khawatir Indonesia hanya akan didikte oleh asing.

Namun yang jelas seperti yang telah ditegaskan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa tidak adil hanya menyalahkan Indonesia yang merusak hutan tropis dan lahan gambut, karena kenyataannya investor asing juga banyak yang mengelola lahan di Indonesia. Karenanya, pantas jika dirinya menyebut dunia harus ikut bertanggung jawab.