Penenun Songket Palembang tertarik gunakan pewarna alami

id kain,kain songket,pewarna alami,kain tradisional,kain tradisional palembang,kain songket palembang,penenun,umkm,pasar

Penenun Songket Palembang tertarik gunakan pewarna alami

Penenun kain songket di kawasan Talang Kerangga Palembang yang menggunakan pewarna alami di Palembang, Jumat (18/3/22). (ANTARA/Dolly Rosana)

Palembang (ANTARA) - Sejumlah penenun kain tradisional Songket Palembang tertarik menggunakan pewarna alami untuk meningkatkan pendapatan dan memperluas pasar.

Netty, penenun kain songket di kawasan Talang Kerangga Palembang mengatakan dirinya sejak dua tahun terakhir mulai menerima pesanan kain songket berbahan pewarna alami.

“Dari butik memang pesan seperti itu, karena kain songket dari pewarna alami ini warnanya lembut, tidak terlalu mencolok. Banyak yang suka,” kata Nety di Palembang, Jumat.

Ia mengatakan untuk menyelesaikan satu setel kain songket yang terdiri dari satu lembar kain dan satu lembar selendang dibutuhkan waktu sekitar satu bulan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).

Harga satu setel kain songket berkisar Rp8,5 juta hingga Rp10 juta per lembar, sementara kain songket dengan pewarna tekstil berkisar Rp1,5 juta hingga Rp4 juta.

Mengenai bahan pewarna alami, Nety mengaku dirinya disuplai dari butik berupa benang yang sudah menggunakan pewarna alami.

“Saya tahu cara membuatnya, tapi karena ada kiriman dari butik, ya saya pakai itu saja. Biar cepat dan tidak repot,” kata dia.

Walau sudah merambah ke kain songket pewarna alami, Netty juga membuat kain songket dari benang emas metalik yang menggunakan pewarna tekstil dengan harga Rp1,5 juta hingga Rp3 juta per setel.

Sementara itu, Rita Zahara, penenun songket asal Palembang mengatakan dirinya juga sejak dua tahun terakhir membuat kain songket pewarna alami.

Produk tersebut pewarna alami ini ia dapatkan dari daun secang, daun kangkung, getah gambir, kulit manggis dan kulit jengkol.

Baginya relatif mudah untuk mendapatkan bahan-bahan tersebut karena dapat diperoleh secara gratis di lingkungan tempat tinggal atau membeli di pasar tradisional.

Walau dari sisi biaya lebih murah tapi tantangan terletak pada proses pembuatan karena setidaknya dibutuhkan waktu hingga satu pekan.

Bahan dari tumbuh-tumbuhan itu harus direbus dengan air dalam waktu tertentu hingga volume air berkurang sampai separuhnya.

“Jika pakai pewarna tekstil, gampang saja cuma lima menit direbus sudah bisa dipakai untuk dicelup ke benang. Kalo ini, satu jam itu baru mendidih saja,” kata Rita.

Direktur Pemasaran Bank Sumsel Babel Antonius Prabowo Argo mengungkapkan pihaknya sebagai pembina UMKM kain songket sempat menggelar seminar terkait upaya membuka potensi pasar ekspor di Australia.

Dari hasil seminar itu, terdapat empat produk yang diputuskan untuk dikurasi yakni kain songket dan jumputan, kemplang, kopi dan rempah.

“Khusus songket, ternyata konsumen di Australia itu kurang menyukai warna-warna yang terang (mencolok). Mereka lebih suka warna soft,” kata dia.

Atas dasar itu, BSB akan membina pelaku UMKM songket untuk melahirkan produk dengan warna-warna lembut jika ingin merambah pasar ekspor di Australia, Eropa hingga Amerika Serikat.

Akan lebih baik, jika produk itu dari pewarna alami karena saat ini di negara-negara maju sedang mengandrungi produk yang berbahan alami ecofashion.

“Sejauh ini, dari kurasi itu baru kopi Kawah Dempo yang lulus ekspor. Songket dan jumputan akan kami dorong juga,” ujar dia.