Mengukur peluang cawapres pendamping Jokowi

id cawapres,mengukur peluang cawapres

Kupang (ANTARA Sumsel) - Teka teki siapa cawapres yang bakal mendampingi Joko Widodo sebagai calon presiden yang diusung PDI Perjuangan pada pemilihan presiden dan wakil presiden 9 Juli 2014 masih jadi tanda tanya.  
   
Nama Jusuf Kalla dan Abraham Samad disebut-sebut berpeluang besar menjadi calon wakil presiden (Cawapres) mendampingi Joko Widodo, dalam pemilihan presiden 9 Juli mendatang.

Pengamat politik Yudi Latif melihat Jusuf Kalla mempunyai peluang lebih besar untuk menjadi Cawapres Jokowi, dibandingkan Abraham Samad.

Hal itu. lantaran JK dinilai masih mempunyai pengaruh yang besar di Partai Golkar, sehingga suara Golkar bukan tidak mungkin beralih ke Jokowi di Pilpres nanti. "Kalau yang realistik menurut saya JK (Jusuf Kalla)," ujarnya di Jakarta.

Selain itu, Cawapres untuk Jokowi juga harus merupakan sosok yang agamis. Sebab, banyak kalangan yang menilai Jokowi didukung partai nasionalis dan banyak timbul stigma bahwa Jokowi anti Islam. Namun JK yang juga Ketua Dewan Masjid Indonesia bisa mendukung Jokowi.

"Wapresnya harus orang yang relatif punya hubungan dengan organisai-organisasi Islam," ujar Yudi.

Sementara, Abraham Samad dinilai tidak memiliki hubungan dengan organisasi islam atau pun partai politik. Sebab, Samad saat ini baru dikenal sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sedangkan peneliti Pol-Tracking Arya Budi menyatakan secara geoelektroral, Jokowi dengan Samad cocok karena pria asal Makassar itu merupakan representasi luar Jawa. Namun secara figur, Samad masih memiliki kekurangan.

"Secara figur Abraham Samad masih kurang karena basis massa dan basis politiknya yang lemah," kata Arya.

Selain itu, Arya menambahkan Samad baru naik di KPK dan belum mampu menutupi kekurangan Jokowi dalam relasi kebijakan internasional, militer dan ekonomi makro. Karena itu apabila membicarakan figur, JK lebih unggul dibanding Samad.

"Iya, kalau bicara figur tentu JK lebih unggul tapi secara pasangan kandidat akan menciptakan dilemma personal bagi Jokowi. Namun secara politik lebih cocok JK karena dia diterima Nasdem dan PKB," ucap Arya.

Namun demikian Arya menjelaskan, baik Samad maupun JK memiliki kans yang sama kuat untuk menjadi pasangan Jokowi. "Kans sama kuat karena Jokowi adalah capres dengan elektabilitas besar punya cukup otoritas untuk gandeng Abraham Samad dia mau. Politik adalah kontestasi kemungkinan," tandasnya.

Sementara itu, Wakil Presiden periode 2004-2009, Jusuf Kalla (JK) disebut sebagai salah satu kandidat calon wakil presiden yang bakal mendampingi calon Presiden dari PDI Perjuangan, Joko Widodo alias Jokowi.

Namun dosen dari Universitas Paramadina Herdi Sahrasad menyatakan, apabila berpasangan maka JK akan mempersulit Jokowi dengan gagasan revolusi mental. "Tidak kompatibel, akan ada gesekan," kata Herdi dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Minggu (11/5).

Herdi menjelaskan usia yang terlampau jauh antara JK dengan Jokowi juga akan mempersulit Gubernur DKI Jakarta itu untuk melangkah. Karena itu, ia menyarankan agar JK menjadi negarawan saja. "Lebih baik jadi negarawan," ucapnya.

Berbeda dengan Yudi Latif dan Arya Budi, peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra menyatakan, JK memiliki indeks kedaulatan paling rendah untuk menjadi calon wakil presiden dibanding Rizal Ramli, Abraham Samad, dan Ryamizard Ryacudu.

Gede menyatakan Rizal Ramli merupakan tokoh yang mendapatkan nilai indeks kedaulatan yang tertinggi dengan angka 88?. Sedangkan Ryamizard memiliki indeks kedaulatan sebesar 67, Abraham Samad sebesar 63, dan JK sebesar 50.

"Adapun parameter dalam penilaiannya adalah visi dan bukti Trisakti, rekam jejak KKN, kepemimpinan, pluralisme, jaringan internasional, luas konstituen, dan keberpihakan kepada rakyat," ujar Gede.

Menurut Gede, JK sangat sulit apabila ingin mewujudkan perjuangan Trisakti Soekarno yakni berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam budaya. "Pak JK kebijakannya bertentangan dengan Soekarno," tandasnya.

    
Tolak Tawaran
Pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro mengatakan Abraham Samad sebaiknya tidak menerima tawaran calon wakil presiden dari partai politik karena belum selesai mengemban tugasnya sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Abraham Samad belum selesai mengemban tugasnya sebagai Ketua KPK," ujar Siti Zuhro dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

Menurut dia, posisi dan fungsi Ketua KPK diperlukan dalam keadaan negara menghadapi bencana korupsi dahsyat saat ini.

"Kalau yang bersangkutan (Abraham Samad) sampai lompat dari posisinya saat ini dan kemudian mencawapreskan diri, hal ini akan memberikan contoh kurang positif," ujar dia.

Ia mengatakan sebaiknya pejabat publik memahami etika serta berkomitmen untuk menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sampai masa tugasnya selesai.

"Kalau sampai Abraham Samad menerima tawaran sebagai cawapres, dapat memberikan kesan pragmatis pejabat publik yang cenderung suka lompat-lompat," ujar dia.

Ia mengutarakan bahwa tawaran cawapres dari partai politik sebaiknya ditanggapi oleh Abraham Samad sehingga tidak ada kesan peluang untuk dapat didekati.

Pandangan serupa juga dikemukakan pengamat hukum dan politik Universitas Nusa Cendana Kupang Dr Karolus Kopong Medan, SH,MHum yang meminta Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Ambraham Samad untuk menolak tawaran menjadi calon wakil presiden dalam proses pencalonan dan pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 Juli 2014 sehingga tetap fokus melaksanakan pemberantasan korupsi.

Fokus ini penting karena saat ini korupsi sudah sangat meluas secara sistemik merasuk ke semua sektor diberbagai tingkatan pusat dan daerah, disemua lembaga negara eksekutif, legislatif, maupun yudikatif termasuk yang ada di Nusa Tenggara Timur," katanya di Kupang, Selasa.

Abraham Samad digadang- gadang pantas disandingkan dengan Bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Joko Widodo lantaran dinilai mampu menciptakan pemerintahan yang bersih lantaran dapat saling melengkapi dalam mengisi pembangunan nasional.

Samad diyakini mampu mendukung konsep revolusi mental Jokowi. Dimana tentunya dengan membentuk mental yang jauh dari korupsi.

Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang itu menilai waktu yang tepat bagi Samad untukmemimpin bangsa ini sebagai presiden atau wakil presiden pada 2019 mendatang karena harus lebih konsentrasi pada pencegahan dan penindakan korupsi yang telah berjemaah di Indonesia.

NTT misalnya saat ini sedang dihantui masalah dugaan korupsi dana bantuan sosial disejumlah kabupaten dan provinsi yang penanganannya belum maksimal dan terkesan jalan ditempat seperti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu serta sekretarian provinsi Nusa Tenggara Timur, sehingga perlu perhatian serius dari KPK danjajarannya untuk dituntaskan.

        
Pilih JK
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit mengatakan bahwa popularitas calon presiden dari PDI Perjuangan, Joko Widodo atau Jokowi, masih jauh lebih unggul dibandingkan dengan capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Ia menilai Jokowi akan sulit dilawan jika ia berpasangan dengan Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden.

"Jika Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK), maka Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa dipastikan akan kalah," kata Arbi sebagaimana dikutip Tribunnews.com, Senin (12/5/2014).

Menurut Arbi, duet Jokowi-JK jauh lebih unggul dibandingkan bila Jokowi berpasangan dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad atau mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Ia menilai JK memiliki pengetahuan yang luas di bidang ekonomi, pemerintahan, kepemimpinan, dan hubungan luar negeri. "JK itu mengerti persoalan Timur Tengah," ujarnya.

Sementara Abraham dan Mahfud, kata Arbi, lebih banyak menguasai bidang hukum. Padahal, posisi wapres mencakup seluruh masalah pemerintahan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu, Arbi berpendapat pasangan Jokowi-JK merupakan pasangan ideal dan berkualitas.

Arbi berpendapat bahwa daya tarik pasangan Prabowo-Hatta masih kurang kuat bila langsung berhadapan dengan Jokowi di Pemilu Presiden 2014. Ia menilai Prabowo-Hatta hanya menguasai bidang ekonomi, sementara diragukan menguasai bidang yang lain. Secara popularitas, keduanya juga kalah dibandingkan dengan Jokowi-JK.

Arbi mengingatkan, Jokowi bisa saja kalah jika berpasangan dengan Abraham atau Mahfud. Kedua tokoh itu tidak memiliki popularitas yang tinggi bila dibandingkan dengan JK. Apalagi, bila Prabowo tiba-tiba berpasangan dengan tokoh populer lain, misalnya Dahlan Iskan.

Peta politik akan semakin menggeliat jika Partai Demokrat membentuk poros baru dan mencalonkan salah seorang dari peserta Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat. Jika demikian, kata Arbi, maka perolehan suara akan terbagi dan jalan menuju kursi RI-1 akan semakin sulit.