Pertamina dorong skema tarif panas bumi Pro-Bisnis

id Elia Massa Manik, pertamina, gas bumi, listrik, bio massa, hidro, matahari, energi baru terbarukan, pro-bisnis,

Pertamina dorong skema tarif panas bumi Pro-Bisnis

Elia Massa Manik. (ANTARA/Ist)

Jakarta (ANTARA Sumsel) - PT Pertamina (Persero) turut mendorong pengembangan regulasi terbaru Peraturan Menteri Nomor 50 Tahun 2017 tentang pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) berpotensi untuk penentuan tarif yang ramah terhadap investor (pro-bisnis).

Regulasi yang ramah terhadap investasi itu dinilai bakal mempercepat pembangunan energi terbarukan panas bumi, maupun energi terbarukan lainnya seperti bio massa, hidro, matahari dan lainnya.

"Dalam beberapa tahun ke depan kami masih akan mengembangkan energi panas bumi, untuk itu kami menyambut baik regulasi yang ramah investasi dan mendukung terciptanya 'clean energy' kedepan. Kami sendiri sudah membangun pembangkit listrik panas bumi dengan kapasitas terpasang 587 MW," kata Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik di Jakarta, Rabu.

Potensinya sangat besar, dari total 29 Gigawatt, yang baru terpasang masih kurang dari 3 Gigawatt. Untuk itu regulasi memiliki peran penting dalam pengembangan energi panas bumi ke depan, tuturnya.

Sementara itu, Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Yunus Saefulhak menyatakan, regulasi terbaru memungkinkan adanya skema B2B, jika rata-rata biaya pokok produksi (BPP) pembangkit listrik dinilai kurang.

Dicontohkan, proyek pembangkit Panas Bumi Rantau Dedap yang berada di Kabupaten Muara Enim dan Lahat, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan pada akhirnya penentuan harga listriknya ditentukan melalui proses amendemen perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).

"Dari target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 mendatang, sekitar 7.200 MW atau 16 persen akan datang dari panas bumi, dan investasi di sektor ini di perkirakan akan mencapai 8 miliar dolar AS. Untuk itu kita harus menyiapkan beberapa strategi, yang pertama regulasinya harus mendukung," ujarnya.

Kemudian pilihan lain, juga bisa menggunakan pinjaman lunak, sehingga bisa mendapatkan harga yang lebih murah atau bisa juga bekerja sama dengan negara lain, yang memiliki teknologi yang lebih maju, sehingga terjadi transfer teknologi di sana.

Ditambahkan, sejak pemerintah memperbaiki regulasi terkait pengembangan panas bumi, investasi di sektor ini semakin meningkat. Dalam setahun terakhir, misalnya, ada 80 penandatanganan pembangkit listrik energi terbarukan oleh IPP (independent power producers) dengan kapasitas pembangkit listrik mencapai 1.100 MW yang terdiri dari PLTA, PLT biomassa, PLTP, dengan investasi 2,9 miliar dolar AS.

Sementara potensi energi baru terbarukan di Indonesia mencapai 443,2 GW dan yang termanfaatkan baru 8,8 GW atau 2 persen saja.

"Intinya kebijakan yang kami susun, mengacu pada 3 hal, kompetitif atau murah, terjangkau oleh masyarakat dan ketiga harus terdistribusi dengan baik atau yang dikenal dengan istilah energi berkeadilan. Jadi, kelihatannya memang ada tarik ulur antara kepentingan keekonomian dan kepentingan rakyat dan negara dalam mempercepat pembangunan energi baru dan terbarukan di Indonesia," kata Yunus.