Kanwil pajak endus transaksi mencurigakan Rp11,5 triliun

id pajak, samon jaya

Kanwil pajak endus transaksi mencurigakan Rp11,5 triliun

Samon Jaya (Foto Antarasumsel.com/14/Yudi Abdullah)

...Berdasarkan data tahun 2013, untuk distributor besar saja, transaksi pada sektor perdagangan mencapai Rp11,5 triliun. Jika separuhnya saja yang melakukan kecurangan ini, potensi penerimaan pajak lebih dari Rp5 miliar...
Palembang (ANTARA Sumsel) - Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Selatan dan Bangka Belitung menemukan transaksi mencurigakan senilai Rp11,5 triliun dari 240 distributor perdagangan besar di Palembang.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung Samon Jaya di Palembang, Senin, mengatakan, pihaknya telah membentuk tim khusus untuk menyelidiki keterlibatan pengusaha selaku distributor perdagangan besar yang tidak melaporkan transaksinya secara benar.

"Akibat tingkah dari distributor ini, maka negara kehilangan penerimaan sektor Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)cukup besar," kata Samon.

Ia mengatakan, salah satu sub sektor yang margin keuntungannya relatif kecil namun memiliki tingkat kecurangan tinggi yakni transaksi produk yang dijual di pasar ritel, seperti produk Unilever.

Melalui data pembanding dari pabrikan pusat, sejumlah distributor ini tidak melaporkan semua transaksi dengan benar, tambah Samon.

"Berdasarkan data tahun 2013, untuk distributor besar saja, transaksi pada sektor perdagangan mencapai Rp11,5 triliun. Jika separuhnya saja yang melakukan kecurangan ini, potensi penerimaan pajak lebih dari Rp5 miliar," kata dia.

Samon mengemukakan, jika dilihat dari alur transaksi, sebenarnya penerimaan pajak sektor perdagangan ini semuanya ditanggung konsumen akhir yakni pembeli produk.

Jika semua transaksi tidak dilaporkan secara utuh artinya ada hak konsumen yang seharusnya disetor ke negara tapi disalahgunakan distributor.

Ia menjelaskan, seorang Wajib Pajak (WP) yang dengan benar melaporkan faktur penjualannya hanya membayar transaksi yang dibelinya saat itu sebagai modal awal. Setelah produk itu sampai ke konsumen maka yang membayar pajak sepenuhnya adalah konsumen.

"Distributor A membeli 1.000 unit produk dari salah satu pabrikan di pusat seharga Rp1 juta, karena kena pajak 10 persen maka distributor membayar Rp1,1 juta (PPN Rp100.000). Setelah dijual kepada konsumen, distributor mendapat hasil penjualan Rp1,5 juta, namun yang harus dibayar distributor bukan Rp150.000 tetapi Rp50.000 saja, karena Rp100.000 sudah dibayar saat transaksi pembelian dari pabrik," kata dia.

Modus yang saat ini terjadi, menurut Samon, masih banyak distributor yang memangkas jumlah unit transaksinya. Seperti, dari pembelian 1.000 unit tadi hanya dilaporkan 500 unit saja. Sehingga penerimaan negara seharusnya Rp150.000 tadi karena dicurangi maka hanya Rp100.000 ribu yang dibayar ke negara.

Pihaknya sudah mengimbau sejumlah distributor resmi terkait dengan temuan ini namun belum direspon postif sehingga Ditjen Pajak mengerahkan 50 petugas khusus dari 6 kantor pelayanan pajak untuk melacak transaksi distributor agar diperoleh ketetapan pajak.

"Dua pekan ke depan kami harapkan sudah ada ketetapan pajak yang bisa direalisasikan terhadap penerimaan negara. Sehingga para distributor mau memperbaiki SPT pajak dengan sebenar-benarnya, namun jika tidak, secara undang-undang maka harus dilakukan upaya penagihan," jelas Samon.

Kepala Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi Saefudin mengatakan sebenarnya sektor perdagangan yang saat ini difokuskan untuk diselidiki ketetapan pajaknya tidak hanya Unilever.

Pihaknya juga membidik sub sektor otomotif, makanan dan minuman, peralatan rumah tangga (elektronik), pulsa dan sub sektor lainnya yang juga memiliki potensi kecurangan yang sama.

"Selain tidak dengan benar melaporkan jumlah transaksi, bisanya pengemplang pajak ini juga tidak melaporkan bonus yang diterimanya. Bonus yang diberikan berupa produk itu sendiri, uang atau bahkan liburan ke luar negeri, ini juga upaya untuk menghindari pajak," katanya.

Bonus tersebut menurutnya menjadi cara distributor untuk tidak melaporkan laba bersih kena pajak. Distributor bahkan dengan segala cara untuk membesarkan biaya-biaya agar kewajiban pajak semakin kecil, sehingga distributor seolah-olah merugi dan tidak kena ketetapan pajak.