Pembangunan IKN sebagai strategi besar membangun kekuatan ekonomi

id IKN,ibu kota nusantara,strategi besar,kekuatan ekonomi,ibu kota baru,10 tahun jokowi,indonesia emas 2045,magnet episentr

Pembangunan IKN sebagai strategi besar membangun kekuatan ekonomi

Area Plaza Seremoni di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur. (ANTARA/Aji Cakti)

Keberlanjutan pembangunan IKN yang menjadi komitmen presiden terpilih Prabowo Subianto kepada Presiden RI Jokowi menjadi bab pertama perjalanan bangsa Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Untuk mewujudkan pemerataan ekonomi di seluruh wilayah sesuai dengan Visi Indonesia Emas 2045 maka Indonesia harus memiliki minimal dua magnet episentrum. Satu episentrum yang selama ini ada tidak cukup untuk mewujudkan pemerataan, dan  itulah setidaknya yang mendasari pembangunan ibu kota baru.

Ibu kota baru dirancang sebagai episentrum baru. Dengan mendirikan ibu kota baru berarti ada pembangunan dan pengembangan wilayah baru melalui perubahan struktur ruang wilayah nasional. Yang kemudian mengerucut pada dibangunnya Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur.

Kenapa harus pindah ke IKN? Ada benang merah yang bisa disimak dari perjalanan rencana pemindahan ibu kota sebelumnya yang dimulai dari Presiden Soekarno sampai Presiden Jokowi.

Itu semua dimulai dengan masalah kepadatan penduduk, ketimpangan ekonomi, sampai dengan peningkatan kompetensi SDM dan simbol identitas nasional. Semua itu bermuara pada persoalan utama tidak meratanya pembangunan ekonomi nasional karena bertumpu pada Jakarta dan Pulau Jawa sebagai magnet episentrum pertumbuhan ekonomi tunggal.

Jakarta sebagai magnet episentrum ekonomi tunggal terasa semakin sulit untuk dioptimalkan. Kota itu bukan hanya menjadi pusat pemerintahan, namun juga menjadi pusat segala rupa; pusat bisnis, pusat olahraga, pusat perdagangan, hingga pusat pendidikan dengan fasilitas terbaik.

Karena segala macam kegiatan berpusat di Jakarta, kota itu jadi sangat padat penduduk. Beban daya dukung itu kemudian jatuh ke wilayah sekitar Jakarta, yakni Bogor, Tangerang, sampai Bekasi. Wilayah-wilayah tersebut kemudian juga menerima ledakan pertumbuhan penduduk hingga menjadikan aglomerasi Jabodetabek menjadi yang terpadat kedua setelah Tokyo-Yokohama.

Penduduk Botabek yang sangat banyak itu mayoritas mencari nafkah di Jakarta. Mereka pergi-pulang Botabek-Jakarta setiap hari. Mobilitas yang masif ini tentunya tidak bisa ditopang oleh rasio infrastruktur jalan di wilayah Jakarta yang hanya 5,42 persen, sehingga kemacetan parah pun menjadi pemandangan sehari-hari mengingat kecepatan rata-rata di Jakarta sekitar 10-20 km per jam pada jam-jam sibuk.

Pertumbuhan penduduk dan mobilitas yang masif itu juga membuat ketersediaan infrastruktur air perpipaan di Jakarta dan sekitarnya tidak memadai sehingga memaksa masyarakat untuk memanfaatkan air tanah. Hal ini tentunya berakibat pada penurunan tanah di Jakarta dan sekitarnya yang rata-rata 7-10 cm per tahun. Akibatnya, banjir di kala musim hujan dan rob kerap terjadi di kawasan Jabotabek.

Kepadatan penduduk di wilayah Jabotabek kemudian juga menimbulkan problema mengenai ketersediaan perumahan. Dari data Kementerian PUPR diketahui bahwa tercatat backlog kepemilikan rumah sebanyak 9 juta unit yang harus dikejar pembangunannya oleh pemerintah.