"Jadi, kalau ada nyamuk jantan yang mengandung Wolbachia dan kawin dengan nyamuk betina yang tidak mengandung Wolbachia, ini telurnya tidak akan menetas. Kalau yang mengandung Wolbachia adalah betina, nanti seluruh telurnya akan mengandung Wolbachia dan akan menjadi nyamuk yang mengandung Wolbachia," ucapnya.
Melalui beberapa generasi, sambungnya, diharapkan seluruh nyamuk aedes aegypti akan mengandung bakteri Wolbachia, sehingga bisa mengurangi penyebaran virus dengue.
"Sebetulnya gak ada yang rekayasa genetik, baik dari nyamuknya maupun Wolbachia-nya, karena semua prosesnya alami, baik dari Wolbachia-nya maupun proses regenerasi atau perkembangbiakan nyamuknya juga alami," ucapnya.
Kemudian, dr Ningz juga memastikan bahwa penyebaran nyamuk ber-Wolbachia bukan merupakan uji coba yang belum terbukti, karena uji coba dan penelitian tentang bakteri ini telah dilakukan sejak 2011.
Dia menyebutkan terdapat sejumlah negara endemis DBD seperti Brazil, Australia, Vietnam, Meksiko, dan Sri Lanka yang juga menerapkan hal yang sama.
Di Indonesia, penyebaran nyamuk ber-Wolbachia telah dilakukan di Yogyakarta dan mampu menekan angka kesakitan akibat DBD hingga 77 persen, serta mengurangi risiko rawat inap menjadi 86 persen.
"Meskipun teknologi Wolbachia bermanfaat dan efektif, pencegahan DBD harus dilakukan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, dan jangan lupa 3M plus, menutup, menguras, dan mengubur," tutur dr Ningz.