Jakarta (ANTARA) - Beberapa hari ini perbincangan warganet dan pemberitaan sejumlah media mengarah pada pengamen cilik cantik yang viral setelah videonya saat mengamen sebagai badut di sebuah lampu merah di Jakarta diunggah di media sosial.
Video tersebut mendapat tanggapan luas dari warganet di media sosial. Seperti yang biasa terjadi, apa yang ramai diperbincangkan di media sosial akhirnya juga diangkat media arus utama dalam pemberitaannya. Si pengamen cantik, yang baru berumur 11 tahun, diwawancara oleh media dan disiarkan di televisi.
Namun, pemberitaan yang viral tentang sosok pengamen cilik cantik di media sosial dan media arus utama ternyata tidak sepenuhnya mendapat tanggapan yang positif. Setelah banyak diberitakan, warganet mulai memberikan komentar negatif seperti menganggap sombong dan lupa bagaimana dia viral dan menjadi terkenal.
Beberapa komentar bahkan cukup pedas, dan dalam beberapa hal, mulai mengarah pada perundungan siber. Pertanyaannya, sudahkah warganet dan media yang memberitakan tentang pengamen cilik ini, mempertimbangkan dampak psikologis yang mungkin muncul dari pemberitaan di media arus utama dan media sosial?
Insan pers dan warganet Indonesia tampaknya harus mengakui, bahwa pemberitaan media dan banyak konten di media sosial masih belum ramah anak. Untuk pers, sebenarnya sudah ada Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Meskipun narasi dalam peraturan lebih banyak mengatur tentang anak yang berkaitan dengan hukum, terdapat salah satu pasal yang mengatur tentang pemberitaan positif tentang anak.
Pasal 5 Pedoman Pemberitaan Ramah Anak menyatakan “Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan”.
Pemberitaan tentang pengamen cilik yang viral tersebut dapat dikategorikan sebagai berita yang bernuansa positif. Namun, sudahkah wartawan yang menulis berita tentang itu mempertimbangkan dampak psikologis dan efek negatif yang mungkin muncul?
Baru beberapa hari sejak video pengamen cilik cantik tersebut diunggah dan viral di media sosial, sudah terlihat sejumlah dampak negatif dari pemberitaan tersebut. Warganet menganggap si pengamen cilik menjadi sombong dan memberikan komentar negatif.
Memang tidak bisa sepenuhnya menyalahkan media arus utama karena pengamen cilik tersebut terlebih dahulu diperbincangkan oleh warganet, tetapi media arus utama ikut mengamplifikasi konten yang viral di media sosial. Media arus utama ikut memberikan “panggung”, sehingga dampak yang mungkin muncul semakin meluas.
Pedoman Pemberitaan Ramah Anak sudah mengatur tentang pemberitaan positif tentang anak yang mungkin bisa menimbulkan dampak psikologis dan efek negatif terhadap anak. Salah satu dampak yang mungkin terjadi akibat pemberitaan positif yang berlebihan adalah menjadi sombong atas prestasinya yang pada akhirnya memicu perundungan oleh teman-temannya.
Dalam hal pengamen cilik ini, memang tidak bisa dipastikan apakah dia benar merasa jemawa dan menjadi sombong setelah viral.
Namun, anggapan warganet bahwa dia menjadi sombong dan kemudian memberikan komentar negatif tentu dapat menimbulkan dampak psikologis dan efek negatif lebih jauh.
Dalam salah satu wawancara di media, si pengamen cilik menyatakan harapan bila ada seseorang yang mengambil foto atau video dirinya agar meminta izin terlebih dahulu. Harapan itu tentu saja sebenarnya sesuai dengan hak privasinya.
Namun, sebagian warganet justru menanggapi harapan itu secara negatif. Mereka menganggap si pengamen cilik tidak tahu berterima kasih karena dia tidak akan viral dan terkenal bila tidak ada seseorang yang mengambil gambarnya kemudian mengunggah di media sosial.
Yang terjadi terhadap si pengamen cilik di media sosial pada dasarnya sesuai dengan karakteristik media sosial (Nasrulllah, 2017), yaitu jaringan, informasi, arsip, interaksi, simulasi sosial, konten oleh pengguna, dan penyebaran.
Video yang diunggah pertama kali tentang pengamen cilik pada dasarnya adalah konten oleh pengguna yang berupa informasi.
Konten tersebut kemudian menarik pengguna media sosial lainnya sehingga terjadi interaksi, yaitu saling komentar antarpengguna.
Awalnya interaksi yang terjadi masih positif karena kebanyakan mengomentari pengamen cilik yang dianggap cantik. Namun, interaksi diantara pengguna media sosial semakin berkembang, termasuk komentar negatif.
Karakteristik media sosial lainnya adalah penyebaran. Video yang diunggah pertama kali dan mengundang interaksi warganet tersebut kemudian dibagikan ulang oleh akun-akun media sosial lainnya sehingga semakin menyebar luas. Pada akhirnya, karena banyak diperbincangkan dan semakin menyebar, informasi tentang pengamen cilik yang cantik menarik perhatian wartawan dan media arus utama.
Wartawan dan media arus utama kemudian memberitakan tentang pengamen cilik yang disebut cantik tersebut. Wartawan mewawancarai, mencari tahu identitas dan latar belakangnya, kemudian memberitakan di berbagai media, terutama media daring dan televisi.
Kritik yang kemudian bisa diarahkan kepada pers adalah sudahkah mereka mempertimbangkan dampak psikologis dan efek negatif yang mungkin terjadi pada si pengamen cilik atas pemberitaan yang berlebihan tersebut?
Teori pers tentang tanggung jawab sosial yang digagas Siebert dkk mengkritik teori liberal yang dianggap gagal menjelaskan mewujudkan kebebasan pers yang bertanggung jawab. Menurut teori pers tentang tanggung jawab sosial, pers harus bebas tetapi memiliki tanggung jawab sosial untuk memastikan kehidupan masyarakat meningkat dalam setiap cara yang memungkinkan.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada dasarnya sudah menganut kebebasan pers yang bertanggung jawab sesuai dengan teori pers tentang tanggung jawab sosial. Pers di Indonesia memiliki kebebasan, tetapi harus menempatkan kepentingan umum sebagai tanggung jawab tertinggi.
Undang-Undang Pers juga memberikan kewenangan kepada insan pers untuk mengatur dirinya sendiri melalui Dewan Pers yang independen tanpa ada campur tangan dari pemerintah. Tidak ada unsur pemerintah di dalam keanggotaan Dewan Pers, sehingga tidak ada intervensi pemerintah dalam setiap peraturan yang dikeluarkan Dewan Pers.
Pers memiliki kebebasan untuk memberitakan, termasuk mengangkat konten yang viral dan dibicarakan warganet di media sosial. Namun, pers juga memiliki tanggung jawab untuk tetap mempertimbangkan dampak psikologis dan efek negatif yang mungkin muncul dari pemberitaan tersebut, apalagi bila berkaitan dengan anak-anak.
*) Dewanto Samodro adalah Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta dan mantan jurnalis