Badung (ANTARA) - Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus berupaya menggali potensi minyak dan gas non konvensional guna memenuhi kebutuhan energi nasional di masa depan.
SKK Migas telah menempatkan proyek migas non konvensional ke dalam rencana jangka panjang untuk mencapai target produksi minyak 1 juta barel dan gas 12 BCFD pada 2030.
"Sekarang sedang dalam progres dengan Dirjen Migas Kementerian ESDM. Kami sedang proses aturan mengenai migas non konvensional," kata Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara dalam konvensi internasional IOG 2021 di Badung, Bali, Senin.
Berdasarkan hasil penelitian Badan Geologi Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi migas non konvensional yang jauh lebih banyak dan beragam ketimbang migas konvensional.
Namun, perkembangan teknologi dan biaya produksi menjadi tantangan untuk mendapatkan migas non konvensional yang berkualitas tinggi. Tantangan teknologi dan biaya produksi itu dipengaruhi oleh karakter dari migas non konvensional yang memiliki permeabilitas rendah dan viskositas yang tinggi.
Sumber minyak non konvensional salah satunya adalah heavy oil yang didefinisikan sebagai minyak yang mempunyai nilai API kurang dari 22 persen dan nilai viskositas yang sangat rendah sehingga sangat susah untuk diproduksi, sehingga dibutuhkan teknologi tinggi, seperti steam injector.
Selanjutnya Oil Sands adalah hasil percampuran antara pasir, bitumen, lempung dan air. Bitumen adalah minyak yang memiliki densitas dan viskositas tinggi serta telah mengalami biodegradasi.
Sumber minyak nonkonvensional selanjutnya adalah shale oil berupa kandungan organik yang masih tersimpan di source rock dan belum matang disebut sebagai kerogen, sehingga perlu dipanaskan untuk mendapatkan minyak.
SKK Migas telah memasukkan shale oil ke dalam evaluasi migas non konvensional sebagai cadangan yang prospektif untuk dikembangkan di masa depan. Salah satu potensi migas non konvensional berada di wilayah Central Sumatra Basin.
"Dukungan fiskal yang sangat bagus akan membuat proyek ini lebih ekonomis ke depan," ujar Benny.
Indonesia memiliki potensi migas non konvensional berupa coal bed methane (CBM) sebanyak 453,30 triliun kaki kubik (TCF) dan shale gas 574 TCF.
Sejarah pengembangan migas non konvensional di Indonesia dimulai pada 2008 melalui penandatanganan wilayah kerja Sekayu. Namun, hasilnya belum maksimal.
Dari 54 kontrak wilayah kerja gas metana batu bara yang ditandatangani mulai 2008-2012, saat ini tersisa 20 wilayah kerja eksisting. Sedangkan, enam kontrak migas non konvensional yang ditandatangani 2013-2016, tersisa empat migas non konvensional eksisting.
Pemerintah Indonesia lantas menarik kembali minat investor untuk mengembangkan migas non konvensional melalui dukungan regulasi dan kebijakan fiskal.