Jakarta (ANTARA) - Anomali data kematian akibat COVID-19 di Indonesia dipengaruhi keterlambatan pemerintah daerah dalam memperbarui laporan, kata seorang pejabat Kementerian Kesehatan RI.
"Tingginya kasus di beberapa pekan sebelumnya membuat daerah belum sempat memasukkan atau memperbarui data ke sistem National All Record (NAR) Kemenkes," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI Widyawati melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu sore.
Menurut Widyawati peristiwa kematian pasien COVID-19 dalam kurun sepekan hingga sebulan terakhir di daerah kemudian terakumulasi dan dilaporkan kepada Kemenkes.
Akibatnya, kata Widyawati, Kemenkes merilis angka kematian harian akibat COVID-19 yang cenderung tinggi dalam tiga pekan terakhir. Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki kontribusi paling besar dalam angka kematian di tingkat nasional.
Widyawati mengatakan keterlambatan dalam pembaruan pelaporan dari daerah akibat keterbatasan tenaga kesehatan dalam melakukan input data saat terjadi lonjakan kasus COVID-19 di daerah pada beberapa pekan lalu.
“Lonjakan anomali angka kematian seperti ini akan tetap kita lihat, setidaknya selama dua pekan ke depan,” katanya.
Kementerian Kesehatan, kata Widyawati, mengapresiasi pemerintah daerah yang telah melakukan pembaruan data sesegera mungkin.
“Tentunya ini tidak mengurangi semangat kita untuk terus berpacu menyampaikan data yang transparan dan 'realtime' kepada publik,” katanya.
Tenaga Ahli Kemenkes RI Panji Fortuna Hadisoemarto mengatakan lebih dari 50 ribu kasus aktif saat ini adalah kasus yang sudah lebih dari 21 hari tercatat, namun belum dilakukan pembaruan data.
"Kita saat ini sedang mengonfirmasi status lebih dari 50 ribu kasus aktif. Jadi, beberapa hari ke depan akan ada lonjakan di angka kematian dan kesembuhan yang bersifat anomali dalam pelaporan perkembangan kasus COVID-19. Tapi, ini justru akan menjadikan pelaporan kita lebih akurat lagi," kata Panji.