Denpasar (ANTARA) - Pakar Busana Bali Anak Agung Ngurah Anom Mayun K Tenaya mengatakan tiga jenis kain asli Bali telah mengalami kepunahan, sebagai dampak dari budaya penyederhanaan upacara yang tidak lagi menggunakan kain-kain sakral.
"Ada 10 jenis kain Bali yang khas yakni jenis bebali, keling, wali, endek, cepuk, gringsing, songket, prada, cecawangan. Jenis bebali, wewali dan keling saat ini sudah tidak ditemukan lagi atau mengalami kepunahan, kain-kain itu ada dari Tengenan, Nusa Penida, sebagian besar Bali Mula," kata Agung Mayun yang juga akademisi Prodi Fashion dari Institut Seni Indonesia Denpasar, saat menjadi narasumber dalam kriyaloka (workshop) Busana Adat ke Pura, di Taman Budaya, Denpasar, Kamis (12/3).
Menurut dia, keberadaan kain Bali sangat erat kaitannya dengan budaya tata cara upacara di Bali. "Punahnya kain-kain asli Bali akibat dari budaya masyarakat sendiri seperti penyederhanaan upacara, yang biasanya menggunakan kain-kain sakral, akhirnya ditiadakan," ujarnya.
Terkait penggunaan busana adat ke pura, tambah Ngurah Mayun, sebenarnya tak harus repot dan mahal asalkan mau belajar dan latihan.
"Bagi yang wanita tidak boleh menggunakan kebaya pendek, harus panjang. Begitupun menggunakan kain, jangan menggunakan kain yang dijahit, itu namanya rok," ujar akademisi yang kini sedang menempuh S3 dan meneliti berbagai jenis kain khas Bali itu.
Oleh karena itu, dia mengajak untuk menggunakan busana yang rapi, beretika dan sederhana kepada generasi muda, tak harus ribet dan mahal.
"Tren 'fashion' yang dibawa oleh media saat ini, cenderung demi tuntutan berpenampilan trendi, modis dan meniru kalangan selebritis dijadikan sumber rujukan berbusana. Persoalannya, sebagai rujukan dari tren fashion ini tidak cocok diterapkan bagi masyarakat Bali, khususnya sebagai rujukan busana ke pura," katanya.
Padahal dalam awig-awig atau pakem berbusana sudah ada. Pakem busana adat Bali warisan leluhur dirasa sudah lengkap, karena sudah mempertimbangkan unsur-unsur estetika dan etika. "Prinsip berbusana adat Bali memenuhi Triangga, Wesa, Nyasa, Purwadaksina dan Prasawiya," ucapnya.
"Triangga" menata busana berdasarkan kosmologi Hindu, struktur busana mulai kepala, badan hingga kaki. Sedangkan "Wesa" dimaknai status dalam fase kehidupan, busana anak, dewasa atau orang tua. Sementara "Purwadaksina dan "Prasawiya" merupakan konsep berbusana seperti kain yang dililitkan di tubuh pria atau wanita. Kalau wastra (kain) pria dililitkan searah jarum jam, sedangkan wanita sebaliknya kain dililitkan berlawan arah jarum jam.
Dalam workshop yang diikuti duta kabupaten/kota se-Bali itu juga dipraktikkan menggunakan busana ke pura bagi pria dan wanita yang baik dan benar.
Sementara itu, Kepala Bidang Kesenian dan Tenaga Kebudayaan Provinsi Bali, Ni Wayan Sulastriani mengatakan dengan digelarnya "workshop" busana adat ke pura, harapannya agar ada satu persamaan pandangan dalam mengaplikasikan pakem berbusana di Bali.
"Jenis kain, model atau kekhasan dari masing-masing kabupaten beragam, namun tata cara menggunakan busana yang baik masih banyak yang keliru. Melalui workshop ini, kami berharap akan dapat disosialiasikan oleh masing-masing kabupaten/kota di Bali sehingga generasi kita di Bali paham menggunakan busana yang beretika," kata Sulastriani.
Sulastriani menambahkan, melalui workshop ini diharapkan para duta kabupaten/kota dapat mempersiapkan diri untuk ajang Pesta Kesenian Bali ke-42. "Untuk busana tetap akan diparadekan, dan diikuti seluruh kabupaten kota di Bali," ujarnya.