Jakarta (ANTARA) - Sungai selalu berkaitan erat dengan sebuah peradaban. Tengok saja Lembah Sungai Nil di Mesir, Afrika, yang subur karena lumpur banjirnya dan menjadi “madu” bagi masyarakat Mesir kuno, sehingga terbentuk peradaban yang masyur.
Atau Lembah Sungai Kuning di China, yang subur berkat lumpur berwarna kuning dari luapan Sungai Huang He yang memiliki hulu di Pegunungan Kwen-Lun di Tibet.
Begitu pula dengan aliran Sungai Ciliwung yang memanjang 119 kilometer (km) dari Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat hingga mencapai muara di DKI Jakarta. Sejarawan JJ Rizal pun menyebut peradaban Jakarta dimulai dari Ciliwung sekitar 5000 tahun lalu.
Bahkan, menurut dia, Jakarta dan air itu sudah seperti saudara karena pembentukan daerah yang dulu disebut Batavia itu dimulai dari air hujan tropis yang memotong tiga punggung gunung yaitu Pangrango, Gede dan Salak dalam masa pre-historis.
Namun kondisi sungai yang meliuk melintasi Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok dan Jakarta tersebut mengalami pasang surut seiring dengan pesatnya pertambahan populasi yang mendiami Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung hingga Kali Ciliwung.
Sempadan sungai pun sudah hilang menjadi pemukiman padat. Begitu pula dengan tegakan tanaman yang banyak berganti dengan semen dan beton, semakin menghilangkan kemampuan retensi air terutama di hilir.
Persoalan lain yang mendera Ciliwung adalah sampah yang kerap menimbulkan sumbatan dan akhirnya memunculkan luapan air ke wilayah sempadan yang beralih menjadi permukiman penduduk. Banjir tak terelakkan, terutama di bagian hilir datarannya mengalami penurunan signifikan dampak pengambilan air tanah.
Butuh upaya mitigasi dan adaptasi untuk menyelamatkan penduduk Jakarta dan sekitarnya. Dan inisiatif masyarakat secara langsung untuk terlibat mengatasi persoalan-persoalan tersebut tentu menjadi poin penting untuk menjawab proyeksi ilmuwan bahwa Jakarta bisa tenggelam di 2050.
Aksi komunitas
Upaya-upaya penanganan banjir tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun juga oleh sejumlah komunitas yang memang peduli terhadap lingkungan. Salah satunya ialah Komunitas Pecinta Ciliwung (KPC) Kota Bogor yang dibentuk pada 2009 oleh sekelompok pemuda.
"Ciliwung ini seperti tidak diperhatikan, terutama masalah sampahnya," kata Koordinator KPC Kota Bogor Een Irawan Putra saat ditemui di Jakarta.
Keadaan yang miris tersebut membuat sekelompok pemuda berinisiatif untuk membangun komunitas yang peduli dengan Sungai Ciliwung. Pada dasarnya, kelompok ini dibentuk bukan hanya sekadar bertujuan memungut sampah yang masuk ke sungai, namun lebih jauh dari itu, KPC menjadi semacam upaya dalam menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menjaga alam.
Ironisnya saat ini, tangan-tangan jahil dan tidak bertanggung jawab merusak ekosistem sungai tanpa peduli sejarah panjang dan vitalnya peran sungai di Tanah Air termasuk Ciliwung. Padahal, jika dirawat dengan baik maka sungai akan menjadi sumber perekonomian, pangan, pariwisata, irigasi, perdagangan, transportasi dan lainnya bagi masyarakat luas.
"Yang membuat kita luar biasa sedih, justru manusia mengkhianati atau tidak peduli dengan keberadaan sungai," ujar lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut.
Jika bisa menopang atau menggunakan kalimat superlatif, maka gambaran Sungai Ciliwung pada 10 tahun terakhir sangatlah memprihatinkan karena dipenuhi sampah-sampah terutama di Kota Bogor, ujar dia.
Tidak mudah untuk mengubah suatu kebiasaan yang sudah mendarah daging dari pribadi seseorang apalagi masyarakat luas. Namun, tekad kuat terus dilakukan dan dibuktikan oleh KPC Kota Bogor dalam mengajak setiap individu mengelola sampah terutama di aliran Ciliwung. Berawal dari tantangan almarhum Absoro, salah seorang penggagas komunitas itu, Een bersama rekan-rekannya terus berjuang membersihkan Sungai Ciliwung.
Setiap akhir pekan, ia secara rutin memungut sampah-sampah yang berada di sungai itu dengan menggunakan karung dan alat pengais sederhana. Di awal pergerakan tidaklah mudah, alih-alih mengajak masyarakat membersihkan Ciliwung atau tidak membuang sampah sembarangan, malah cemooh dan cibiran yang ia dapatkan.
"Dua hingga tiga tahun pertama, saya sempat putus asa sebenarnya," kata dia sambil tersenyum kecil.
Cibiran tersebut ia terima lantaran hanya empat hingga lima orang saja dari komunitas yang aktif bekerja. Sedangkan, ribuan warga terus membuang sampah di Sungai Ciliwung setiap hari. Bahkan, warga sekitar sempat melontarkan kata-kata "seperti menggarami air laut" karena pekerjaan itu dinilai sia-sia.
Tak jarang orang-orang sekitar mempertanyakan sampai kapan Een dan rekan-rekannya memungut sampah di Sungai Ciliwung. Namun dengan tegas, pada saat itu ia mengatakan mungkin hingga 100 tahun lagi atau lebih. Sebab, baginya Indonesia hanya butuh orang-orang yang berbuat bukan mengandalkan orang lain apalagi bersikap apatis.
Benar saja, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Sama halnya dengan kesabaran dan keseriusan yang dilakukan komunitas tersebut mendapatkan respon positif. Sepuluh tahun berjalan, masyarakat di sekitar aliran Sungai Ciliwung Kota Bogor mulai sadar betapa pentingnya menjaga alam dengan cara tidak membuang sampah sembarangan. Bahkan, ia mengatakan kini pemerintah Kota Bogor di bawah komando Bima Arya selaku kepala daerah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) khusus untuk menangani persoalan sampah di Sungai Ciliwung. Tidak hanya itu, sebanyak 13 kelurahan yang dilalui aliran Ciliwung secara aktif memantau serta bergerak bersama warganya membersihkan sungai secara berkala.
Sebelum Satgas dibentuk, KPC Kota Bogor telah memetakan sepanjang 15 kilometer aliran Ciliwung yang melalui kota tersebut dengan ratusan timbulan sampah. Namun seiring berjalannya waktu, timbulan-timbulan sampah itu telah berkurang.
Menurut Een, secara umum pola perilaku masyarakat yang salah dalam menjaga Sungai Ciliwung juga disebabkan tidak adanya kontrol serta penyadaran publik. Sehingga, masyarakat cenderung memikirkan cara sederhana untuk membuang sampah terutama yang bermukim di sekitar sungai.
Para anggota KPC Kota Bogor pernah dianggap sebagai pemulung sampah oleh warga sekitar kali. Tidak jarang mereka terkena lemparan sampah saat tengah sibuk membersihkan sampah itu sendiri.
Namun dengan berbesar hati, ia bersama rekan-rekan komunitasnya konsisten untuk selalu berada di Kali Ciliwung setiap Sabtu dan hal itu sudah berlangsung selama 10 tahun terakhir.
Jumlah sampah yang dibersihkannya pun bervariasi tergantung berapa anggota yang terjun ke lapangan pada saat aksi. Setidaknya jika dirata-ratakan, terdapat 20 hingga 30 karung berisikan sampah yang diangkat dari sungai tersebut setiap minggu.
"Tapi kami tidak mau terjebak dengan angka. Yang menjadi perhatian penuh ialah bagaimana upaya untuk selalu mengingatkan masyarakat agar berhenti membuang sampah ke sungai, tidak masalah berapa jumlah orang yang turun aksi ataupun berapa jumlah sampah yang berhasil diangkut," jelasnya.
Untuk mengajak masyarakat peduli terhadap lingkungan, ia juga terus bergerilya ke berbagai wilayah dan kelurahan sekitar Sungai Ciliwung. Tidak peduli hingga kapan, yang penting terus berupaya mengubah pola pikir masyarakat untuk cinta dan peduli lingkungan.
Manfaatkan sampah plastik
Ada pula kreativitas masyarakat berkaitan dengan memberikan nilai tambah pada sampah plastik sekaligus membantu mengatasi persoalan lingkungan. Bisnis yang termasuk ekonomi melingkar atau yang tren terdengar dengan sebutan circular economy dilakukan Jafar Labib selaku pemilik Tirem Gallery.
Ia mengubah kantong plastik bekas sekali pakai menjadi karya seni lukisan yang memiliki nilai jual. Bisnis yang dimulai sejak 2016 tersebut kini tidak hanya membuat lukisan tetapi juga membuat celengan, mobil-mobilan dan berbagai merchandiser lainnya.
Untuk kreasi lukisan wajah terkecil plus figura berukuran 40x60 sentimeter (cm), Jafar pernah menjualnya seharga Rp500.000. Dirinya juga sudah membuat lukisan wajah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berukuran 1 meter x 70 cm, dan menjualnya dengan harga Rp3 juta.
Jafar juga sudah membuat lukisan wajah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, politisi Partai Golkar Firman Soebagyo dan sejumlah bupati dan wakil bupati di Jawa Tengah.
“Ingin buat sesuatu yang membantu memperpanjang usia plastik,” ujar seniman muda asal Pati itu saat ditanya alasan dirinya memanfaatkan plastik bekas sekali pakai untuk membuat lukisan bernilai seni dan ekonomi saat ditemui di Manggala Wanabakti, Jakarta.
Bisnis ekonomi melingkar gaya Jafar yang juga sudah dipasarkan secara daring jadi salah satu cara upaya peduli lingkungan yang dilakukan secara individu dan kemudian justru memberikan lapangan kerja untuk lainnya. Inisiatif-inisiatif seperti itu boleh jadi menjadi harapan untuk menekan bencana ekologis.